Selasa, 07 Januari 2014

Pandangan Idealisme Aristoteles dan F. Bacon

"+"

IDEAL ARISTOTELES DAN FRANCIS BACON

Pengantar
Aristoteles dikenal sebagai “bapak” logika. Logika tidak lain dari berpikir secara teratur dan runtut yakni sesuai urutan yang tepat atau berdasarkan hubungan sebab akibat (Mohammad Hatta: 1986, 121). Intisari  daripada ajaran logikanya ialah syllogismos. Istilah tersebut dalam bahasa Indonesia disebut dengan silogistik. Silogistik maksudnya uraian berkunci, yaitu menarik kesimpulan dari kenyataan yang umum atas hal yang khusus. Contonya; semua orang bakal mati. Bush adalah seorang manusia. Bush bakal mati.
Sedangkan Francis Bacon adalah seorang politikus yang sangat dihargai dan dihormati. Dia hidup pada abad ke-17. Dalam perjalanan pemikirannya ia termasuk tokoh yang berani menyanggah idea yang telah dirintis oleh Aristoteles. Sanggahan itu dinyatakan bahwa ilmu sempurna tidak boleh mencari untung, namun harus bersifat kontemplatif.
Dari paradigma orientasi masing-masing tokoh tersebut, makalah sederhana ini  mencoba menguraikan secara singkat dan posisi penulis atas paradigma yang ada.

Aksiologi Ideal Aristoteles
Filsafat alam Aristoteles sangat menghargai data inderawi sebagai bahan mentah pengetahuan manusia. Aktivitas sains dimulai dari observasi kepada prinsip umum dan kembali lagi ke observasi. Aristoteles menawarkan sebuah pandangan dunia. Pandangan dunia tersebut dinamakan pandangan  teleologis yang  memandang segala sesuatu bergerak menuju tempat kodratinya. Api membumbung ke atas karena menuju kodratinya yaitu langit (syamsul Arifin dan Ajang Budiman, 2004146). Menurutnya penjelasan Aristoteles bahwa segala perubahan itu ada empat sebabnya. Keempat sebab itu adalah pertama, barang, yang menimbulkan terjadinya suatu atasnya. Kedua, bentuk yang terlaksana di dalam barang. Inilah yang disebut sebab bentuk. Ketiga, sebab yang datang dari luar. Keempat, tujuan, yang dituju oleh perubahan dan gerak tersebut yang lazim disebut sebab-tujuan.
Jika diambil suatu perumpamaan kepada sebuah rumah, maka terdapatlah prinsip yang empat tersebut sebagi berikut. Barang adalah kayu, besi, batu dan bahan bangunan lainnya. Bentuk adalah pengertian rumah. Sebab gerak ialah tukang rumah. Tujuan adalah rumah yang hendak dibangun.
Teleologi yang dikemukakan oleh Aristoteles bermuka dua. Aristoteles berpendapat bahwa segala yang terjadi di dunia ini adalah suatu perbuatan yang terujud oleh Tuhan sebagai penggerak alam (al Muharrik al  awwal). Selain itu ia juga berpendapat, bahwa alam ini merupakan berbagai jenis organisme yang berkembang masing-masing menurut gerak tujuan. Dengan demikian alam tidak berbuat dengan tidak bertujuan.

Aksiologi Ideal  Francis Bacon
Francis Bacon menyanggah dominasi sistem filsafat Aristoteles dengan cara pandang teleologisnya terhadap alam semesta. Teleologisme adalah metafisika yang tidak memliki koroborasi empiris (Syamsul Arifin dan Ajang Budiman, 2004: 152) Secara substansial Bacon memang sepakat dengan pendekatan observasional Aristoteles, bahwa sains bergerak dari observasi kepada prinsip-prinsip umum dan kembali ke observasi. Meskipun demikian Bacon mempunyai  beberapa catatan terhadap pendekaan induktif-deduktif Aristoteles, yakni:
  1. Aristoteles dan para pengikutnya dalam pengumpulan data sering sembrono dan tak kritis.
  2. Aristotelian membuat generalisasi secara tergesa-gesa. Kebanyakan dari mereka melompat-lompat ke prinsip yang umum dan menggunakan prinsip tersebut untuk dideduksikan ke lingkup  yang lebih kecil.
  3. Aristotelian bergantung pada induksi dengan numerasi yang sangat sederhana, yang menjelaskan korelasi eksiden yang ditemukan beberapa individu ditarik kesimpulan bahwa hal tersebut berlaku untuk setiap individu .
.
Selanjutnya Francis Bacon memaklumatkan sebuah doktrin populer “pengetahuan adalah kuasa”. Manusia hendaknya dapat mengendalikan kekuatan alam untuk meningkatkan kualitas hidup baik pada dirinya dan sesama. Dalam pandangan selanjutnya, penelitian ilmiah harus dilepaskan dari “teologisme” dan “teleologisme”. Pada akhirnya sains harus bersih dari metafisika.

Posisi Penulis  
Menurut hemat penulis pendapat Aristoteles tentang metafisika lebih dapat diterima penjelasannya dari pada penjelasan Bacon. Hal itu disebabkan ideal Aristoteles lebih jauh kedepan dalam memberikan gambaran tentang teleologis yang berkenaan dengan “barang” dan “bentuk” di alam semesta ini. Segala bentuk perubahan yang ada di alam, tentu ada faktor penggeraknya --yakni sang Pencipta-- yang dalam bahasa agama disebut Tuhan. Disamping itu alam ini dan tiap-tiap hidup didalamnya merupakan berbagai jenis organisme yang berkembang menurut gerak tujuannya. Alam tidak berbuat dengan tidak bertujuan.  
Hal ini tentu berbeda dengan pemikiran Francis Bacon yang tidak menjelaskan tentang adanya sumber kekutan lain selain pengalaman faktual yang dapat dibuktikan dengan uji empirik.


Pemikiran Aristoteles dan Francis Bacon Bidang Ilmu dan Teologi

"+"

DIKOTOMI
SAINS DAN AGAMA


Pendahuluan
Memperbincangkan sains dan agama, sampai saat ini masih ada public image yang mendikotomikan[1] antara keduanya. Kedua hal itu seolah memandang sains tidak memiliki kaitan dengan agama, demikian juga sebaliknya agama tidak memiliki kaitan dengan sains. Masing-masing berdiri pada wilayahnya sendiri-sendiri. Sehingga sains dan agama dipandang memiliki orientasi yang berbeda dan bahkan ”diperkirakan” tidak akan pernah ketemu.
Terlepas dari dikotomi tersebut, secara kodrat manusia ingin memperoleh keingintahuannya sebanyak mungkin tentang segala sesuatu[2]. Keingintahuannya itu digunakan untuk menjalani hidup praktis dan teoritis. Sederhananya, manusia perlu mengetahui segala sesuatu untuk mencukupi kebutuhan hidupnya secara pasti.
Apabila diruntut dari sejarahnya bahwa sains memiliki perjalanan yang cukup lama dan panjang sebelum menampakkan wujudnya yang canggih di abad 17. Sains praktis yang dikenal dengan teknologi saat ini merupakan hasil evolusi dari berbagai pengalaman-pengalaman empiris yang didukung atas hukum-hukum naturalistiknya. Kemunculan sains mau tidak mau berhutang budi pada filsafat Yunani Kuno yang menyingkirkan mitologi sebagai moni penjelas tentang gejala-gejala alam[3]. Dengan demikian, ---waktu itu--- tugas suci filosof adalah menyingkap tabir alam semesta ini, ditata sedemikian rupa sesuai dengan pola matematis.
Setelah sains dilepaskan dari teologi dan dominasi filsafat Aristotelian, ia menjelma menjadi satu modus pengetahuan manusia yang dilengkapi dengan hukum-hukum alamiahnya sendiri. Wujud yang sempurnapun muncul ditengah peradaban manusia. Wujud bersih inipun seolah bahkan berlawanan dengan segala sesuatu yang berbau metafisis dan sebelumnya mendominasinya.
Atas dasar realitas tersebut terjadi sikap yang diistilahkan oleh Liek Wilardjo ”4P”, yakni pertentangan (conflict), perpisahan (independence), perbincangan (dialogue) dan perpaduan (integration)[4]. Realita itu didasari oleh fenomena berubahnya lembaga pendidikan IAIN menjadi UIN yang bermaksud mengintegrasikan sains dengan agama atau bahkan sebaliknya mengintegrasikan agama dengan sains.

Orientasi Sains; Pandangan Ideal Aristoteles dan Francis Bacon serta nilai konstitutif dan kontekstual
Perkembangan sains diharapkan mampu memberikan manfaat positif pada diri manusia dan pola kehidupannya. Sains tidak saja hanya berkembang untuk sains itu sendiri tetapi lebih dari itu juga mampu menjadi subyek dalam kehidupan manusia. Dari tujuan itu, maka perkembangan sains memiliki daya kuat pada diri manusia untuk dikuasainya.
Pemikiran tersebut berbeda dengan ideal Aristoteles yang berpandangan bahwa ilmu untuk ilmu. Artinya bahwa sains dikembangkan murni untuk kepentingan sciences. Sementara berbeda dengan ideal Francis Bacon yang berpandangan bahwa ilmu demi kemaslakhatan umat manusia. Artinya perkembangan sains itu diperuntukkan demi kehidupan umat manusia.
Ideal Francis Bacon tersebut yang kemudian di amini oleh sebagian besar umat manusia dan bahkan menjadi dominasi dalam paradigma manusia ---khususnya kalangan akademisi. Pandangan yang demikian itu adalah aliran positivisme. Aliran positivisme berpegang pada kenyataan sebagai sebuah nilai empirisnya, dan menolak kebenaran yang metafisis.
Dari ideal aristoteles yang demikian itu berarti masuk pada wilayah nilai konstitutif. Artinya sebuah nilai yang berorientasi pada pandangan metafisis sebagai nilai kebenaran. Sementara ideal F. Bacon masuk pada wilayah nilai kontekstual karena idealtasnya didasarkan bahwa sains digunakan untuk kemaslakhatan umat manusia.

Posisi Penulis Antara Ideal Aristoteles dengan Francis Bacon
Berdasar pandangan ideal Aristoteles dan F. Bacon tersebut, penulis mengambil posisi pada proses dialogis. Proses dialogis dimaksudkan untuk mengkaji antara kekurangan dan kelebihan diantara kedua pandangan Aristoteles dan F. Bacon. Sehingga dari proses itu diharapkan saling melengkapi diantara keduanya.
Demikian juga pada perbincangan tentang sains dan agama. Meski, seolah memiliki orientasi yang berbeda namun apabila dicermati seperti simbiosismutualisme. Pertentangan antara sains dan agama tidak harus terus di perdebatkan sampai pada wilayah yang ekstrim. Keduannya merupakan fenomena yang seharusnya diselesaikan secara arif dengan pendekatan ilmiah. Karena, pada prinsipnya hal itu menjadi tanggungjawab para akademisi untuk memperhatikan, merenungkan dan mendialogkan.



[1] Kata mendikotomikan tersebut berasal dari kata dikotomi. Dikotomi sendiri bermakna pembagian dalam dua bagian yang saling bertentangan. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), 110.
[2] Baca Andi Hakim Nasution, Pengantar ke Filsafat Sains, (Jakarta: Pustaka Litera Antaranusa, 1999), 2-4.
[3] Baca Syamsul Arifin dan Ajang Budiman, Pengantar Filsafat; Pendekatan Sistematis, (Malang: UMM Press, 2004), 148.
[4] Pertentangan ialah hubungan yang saling bermusuhan (conflicting), Perpisahan berarti ilmu dan agama berjalan sendiri-sendiri dengan bidang garapan, cara dan tujuannya masing-masing, Perbincangan ialah terjadi hubungan yang saling terbuka, dan keduanya saling memahami persamaan dan perbedaan, Perpaduan ialah hubungan yang bertumpu pada kenyakinan bahwa pada dasarnya sama dan menyatu. Liek Wilardjo, Ilmu dan Agama di Perguruan Tinggi: Dipadukan atau Dibincangkan, Dalam edt. Zainal Abidin Bagir, Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi, (Bandung: Mizan, 2005), 146. 

Sabtu, 14 Desember 2013

EMOTIVE THEORY

"+"

EMOTIVE THEORY; SEJARAH, GAGASAN DAN KRITIK
(Studi terhadap Pemikiran Charles Leslie Stevenson)


A.    Pengantar
Nama C.L. Stevenson barangkali tidak sepopuler Renee Descartes, Immanuel Kant, G.W.F. Hegel, apalagi Socrates, Plato dan Aristoteles. Ketika mendengar nama Stevenson, sejenak kita mungkin terdiam dan seraya bertanya, “Who is he?” Pertanyaan ini akan terjawab manakala kita membuka lembaran demi lembaran literatur-literatur etika, khususnya yang mengupas tentang emotive theory. Kita akan sadar bahwa Stevenson ternyata adalah salah satu punggawa teori itu. Bahkan, ia disebut-sebut sebagai filosof yang menjadikan bangunan emotive theory semakin establish, setidak-tidaknya hingga saat ini.
Emotive theory Stevenson berpijak pada sebuah keyakinan bahwa pertimbangan atau ungkapan moral sengaja diutarakan dalam rangka mempengaruhi atau merubah sikap audience atau pendengar yang menjadi obyek kalimat itu. Bagi Stevenson, ungkapan moral bukan sebatas untaian perasaan atau verbalisasi keluh kesah si pembicara. Lebih dari itu, pembicara memiliki agenda substansial yang diselipkan di sela-sela rangkaian kalimat moral yang diucapkannya, yaitu untuk merubah perasaan dan sikap orang lain. Kalimat “This is good”, misalnya, menurut Stevenson memiliki padanan kata yang kira-kira berbunyi “I like this. Do so as well” (Saya menyukai ini. Maka, tirulah saya).
Teori ini jelas berseberangan dengan positivisme logik ala Wittgenstien yang memposisikan etika sebagai sesuatu yang transenden, dan karenanya ungkapan-ungkapan etis dianggap tidak bermakna apa-apa, meaningless.[1] Stevenson juga menarik garis dengan filosof intuisionisme, George Edward Moore (w. 1958), bukan pada konsep tentang definisi “baik”, melainkan pada wilayah pertimbangan moral. Moore menyebut dalam sebuah esei yang ditulis setelah Principia Ethica bahwa
“Moral judgments cannot be reports of our feelings, for if they were, two men who uttered apparently contradictory judgments upon a moral issue would not in fact be disagreeing. A man who said, ‘You ought to do X’ would no more be disagreeing with a man who said, ‘You ought not to do X’ than would someone who said, ‘I stacked my hay yesterday’ be disagreeing with someone else who said, ‘I didn’t stack my hay yesterday’”.[2]         

“Pertimbangan moral tidak bisa menjadi cerminan perasaan moral kita, sebab jika pertimbangan moral bisa menjadi cerminan perasaan, maka dua orang yang mengungkapkan pertimbangan (moral) yang tampak berbeda mengenai masalah moral tertentu, pastinya tidak akan berselisih. Seseorang yang berkata, ‘Anda harus melakukan X’ tidak akan pernah berselisih dengan orang yang mengatakan, ‘Anda tidak perlu melakukan X’. Kemudian, apakah orang yang mengatakan, ‘Kemarin, saya telah menumpuk jeramiku’ berselisih dengan orang yang berkata, ‘Kemarin, saya tidak menumpuk jeramiku’”.     

Pandangan Moore di atas berbeda dengan pandangan Stevenson. Bagi Stevenson, dua orang yang berselisih mengenai sebuah masalah moral tidak selalu menyangkut semua perselisihan faktual, mereka hanya berbeda mengenai fakta-fakta dari kasus tertentu saja. Pokok persoalan di antara mereka memang bisa ditengahi (baca: diselesaikan) melalui penyelidikan empiris (empirical inquiry), tetapi ada kemungkinan pada tahap selanjutnya mereka berselisih mengenai sikap mereka. Nah, perselisihan semacam ini hanya bisa diselesaikan dengan cara salah satu pihak merubah sikapnya. Karena itu, menurut Stevenson, fungsi utama bahasa atau kalimat moral adalah untuk mengarahkan kembali sikap-sikap orang lain sehingga mereka sesuai dengan sikap kita, the primary function of moral words is to redirect the attitudes of others so that they accord more fully with our own.[3]    
Kalimat terakhir pada paragraf di atas merupakan “inti” dari alur makalah yang ada di hadapan pembaca yang budiman. Makalah ini mencoba untuk menguraikan gagasan Stevenson mengenai emotive theory. Sebelum lebih jauh membahas gagasan emotive theory Stevenson ini, penulis merasa perlu untuk terlebih dahulu menelusuri arkeologi teori itu sebelum masuk pada fokus perbincangan makalah ini. Selain itu, tak lupa digambarkan sekilas tentang potret diri Stevenson. Asumsinya, arkeologi sebuah pemikiran berikut potret diri penulisnya akan membimbing kita ke arah pemahaman yang lebih baik. Sesuatu yang tidak kalah pentingnya adalah paparan tentang sejumlah kritik atau bahkan “penghakiman” terhadap pemikiran filosof Amerika ini.
Penting juga untuk ditegaskan bahwa diskursus emotive theory Stevenson ini tidak berbicara moralitas dalam bentuk perilaku, tetapi lebih pada “kalimat-kalimat atau ungkapan-ungkapan yang mengandung pesan itik”. Dengan kata lain, analisis yang dipakai dalam hal ini sangat berhubungan erat dengan soal kebahasaan. Harapan besar penulis adalah, makalah ini dapat memberi secercah informasi atau bahkan memperdalam wawasan kita tentang emotive theory yang barangkali—setidak-tidaknya untuk penulis sendiri—masih asing di khazanah intelektual kita. Jadi, bukan sebatas menunaikan fardu ‘ain dalam ritualitas Sabtu-an di ruang kuliah Filsafat Etika yang diampu oleh Dr. Suparman Syukur.


B.     Potret Diri Stevenson

Charles Leslie Stevenson adalah seorang filosof moral Amerika yang dikenal dengan teori emotifnya. Ia dilahirkan pada 27 Juni 1908 di Cincinnati, Ohio. Dia menyelesaikan pendidikan Sarjana Muda (B.A.) di Harvard (1930), kemudian melanjutkan ke Cambridge University dan kembali lagi ke Harvard. Dia mendapatkan gelar Ph.D (1935) di universitas tersebut. Stevenson menjadi asisten dosen di Harvard sejak tahun 1934 hingga menjadi dosen di universitas yang sama tahun 1937. Pada tahun 1939, Stevenson menjadi asisten profesor di Yale, dan 1946 dia menjadi profesor luar biasa di bidang filsafat di University of Michigan. Akhirnya, Stevenson resmi dikukuhkan sebagai profesor di Universitas Michigan pada tahun 1948,[4] dengan emotive theory sebagai spesialisasi pemikirannya.

Pemikiran Stevenson tentang emotive theory tentu saja tidak terbentuk dengan sendirinya. Ia juga dipengaruhi oleh filosof-filosof pendahulunya, khususnya C.K. Ogden dan I.A. Richard yang disebut-sebut sebagai ‘sesepuh’ teori ini. Pengaruh kedua filosof itu tampak dalam definisi “emotive” yang diajukan Stevenson. Dia secara jujur mengakui bahwa definisi yang dikemukakannya merujuk kepada dua filosof tersebut.[5] 

Karya-karya Stevenson, baik berbentuk buku maupun artikel yang tersebar di beberapa jurnal, sudah beredar si banyak negara. Adapun karyanya yang berbentuk buku antara lain: Ethics and Language (1944), Facts and Values: Studies in Ethical Language (1963); sedangkan yang berbentuk Jurnal: The Emotive Meaning of Ethical Terms (1937), The Nature of Ethical Disagreement (1948), Meaning: Descriptive and Emotive (1948), The Emotive Conception of Ethics and Its Cognitive Implications (1950). Stevenson kembali ke haribaan Tuhan pada tahun 1979, entah tanggal berapa dan di mana.  

 

C.    Pengertian dan Sejarah Emotive Theory

Pembahasan pengertian dan sejarah emotive theory adalah sangat penting. Pengertian yang jelas akan memudahkan untuk memahami dan memosisikan emotive theory di antara aliran-aliran filsafat etika lainnya. Kemudian, melalui uraian sejarah emotive theory, kita dapat mengetahui latar belakang dan dinamika teori ini. Tidak ada satu konsep atau aliran pun yang muncul di ruang hampa. Ia tentu saja merupakan anak zaman yang dilahirkan di dalam atmosfer aliran-aliran filsafat, baik sebagai penolakan atau dukungan atas aliran-aliran filsafat sebelumnya, atau bahkan sebagai gagasan yang kemudian menjadi sebuah aliran yang sama sekali berbeda dengan aliran-aliran filsafat yang lain.

1. Pengertian Emotive Theory
Stevenson, dalam buku Ethics and Language, memberi batasan bahwa “Emotive meaning of a word is the tendency of a word, arising through the history of its usage, to produce affective responses in people.”[6] Makna emotif dari suatu kata atau kalimat adalah adanya kecenderungan dari kata atau kalimat itu, yang muncul di sepanjang penggunaannya, untuk memunculkan pengaruh terhadap orang lain.
Stevenson juga mengajukan definisi yang lebih luas dari dari definisi di atas. Dia menulis,
“Emotive meaning of a word or phrase is a strong and persistent tendency to give direct expression (quasi-interjectionally) to certain of the speaker’s feelings or emotions or attitudes; and it also a tendency to evoke (quasi-imperatively) corresponding feelings, emotions, or attitudes in those to whom the speaker’s remark are addressed. It is the emotive meaning of a word, accordingly, that let us to characterize it as laudatory or derogatorythat rather generic characterization being of particular importance when we are dealing with terms like ‘good’ and ‘bad’ or ‘right’ and ‘wrong’. But emotive meaning are of great variety: they may yield term that express or evoke horror, amazement, sadness, sympathy, and so on.” [7]

Mencermati definisi emotive theory tampak bahwa teori ini termasuk dalam rumpun etika metafisik (metaphysical ethics) yang merupakan lawan dari etika naturalistik. Etika naturalistik berusaha untuk menjelaskan serangkaian pernyataan-pernyataan moral dari fakta-fakta kehidupan manusia. Moore menganggap pandangan naturalist ini sebagai kekeliruan naturalitik (naturalistic fallacy), sebab ia berupaya untuk memperoleh sebuah “keharusan (ought)” dari suatu “kenyataan (is)”.[8]      
Berlawanan dengan etika naturalistic, menurut Mel Thomson, etika metafisik menekankan bahwa moralitas harus dinilai di dalam dirinya sendiri, dan ia (moralitas) harus dihubungkan dengan harus dihubungkan dengan pemahaman kita terhadap dunia dan posisi kita di dalamnya (morality should be valued in itself, and should be related to our understanding of the world and our place within it). Hal ini menegaskan bahwa pilihan-pilihan moral (moral choices) berhubungan dengan pemahaman kita secara umum terhadap kehidupan dan nilai-nilai yang kita temukan di dalamnya: dengan kata lain berhubungan dengan “metafisik” kita.[9]
Sekarang menjadi jelas bahwa ketika kita menggunakan bahasa moral (moral language), kita mungkin sedang melakukan sebuah kombinasi atas beberapa atau semua metafisik kita (pemahaman terhadap kehidupan dan nilai-nilainya). Kita barangkali berbicara mengenai sesuatu yang dipandang baik tanpa mengetahui bagaimana cara mendefinisikan apa yang kita maksud dengan kata tersebut; kita bisa jadi membicarakannya karena kita ingin mengekspresikan emosi-emosi kita; kita barangkali ingin merekomendasikan perbuatan tertentu; atau kita mungkin merasa yakin bahwa terdapat dasar-dasar obyektif untuk menyatakan bahwa sesuatu itu benar atau salah. Karenanya, masih menurut Thomson, “It is important to be aware of these meta-ethical theories so that we recognize the basis upon which we are using moral language—and save a great deal of misunderstanding and arguing at cross purposes.”[10]    
2. Sejarah Emotive Theory
Guna memahami asal mula munculnya emotive theory, seyogyanya kita berselancar ke dunia masa lampau di awal abad 20 M di Vena—ada yang menulis dengan Vienna—ketika sejumlah ilmuwan, dengan perhatian yang cukup besar terhadap filsafat, mengembangkan sebuah teori filsafat yang lazim disebut Positivisme Logik (Logical Positivism). Aliran ini mengklasifikasikan suatu teori yang berpijak di atas Kaidah Verifikasi (Verification Principle). Teori ini mengelompokkan suatu ungkapan menjadi tiga rumpun: pertama, ungkapan analitik (analytical statement) seperti logika dan matematika; kedua, ungkapan empiris (empirical statement) yang mengekspresikan fakta-fakta yang dapat diobservasi (observable facts); dan ketiga, ungkapan abstrak (nonsensical statement atau metaphysical statement atau pseudo-statement), yang tidak mengekspresikan fakta apapun dan karenanya tidak memiliki arti literal apapun.[11]
Secara berturut-turut bisa diamati dari contoh berikut. “Semua roda adalah bulat” atau “4 x 4 = 15”.  Pada dua contoh ini dengan jelas bisa diketahui mana yang benar dan mana yang salah dengan cara memperhatikan literal meaning dari keduanya. Demikian halnya dengan ungkapan “beberapa logam kalau dipanaskan akan memuai”. Ungkapan ini juga bisa ditetapkan benar atau salah. Caranya dengan mengobservasi atau melakukan eksperimen-tasi terhadap sejumlah logam. Akan tetapi, kita tidak bisa membuat keputusan mutlak pada ungkapan berikut: “Penyakit disebabkan oleh hadirnya makhluk halus (baca: Setan cs.) di dalam jiwa manusia”. Ungkapan ini termasuk dalam kategori metaphysical atau nonsensical statement. Artinya, ungkapan itu tidak bisa ditangkap hanya melalui literal meaning­-nya saja. Bagi kaum emotivist, ungkapan semacam itu diyakini memiliki makna emotive, emotive meaning.[12]   
Jadi, ungkapan-ungkapan seperti masalah teologi dan moral tidak termasuk dalam kategori sensual atau analytical statements, sebab mustahil seseorang mampu meneliti hal-hal yang berhubungan dengan teologi dan moral. Ketika kita menggunakan bahasa moral (moral language), dan ketika kita memutuskan suatu pertimbangan moral, menurut teori emotif, secara literal kita tidak mengatakan apapun, kita hanya memperlihatkan perasaan-perasaan tertentu atau mengekspresikan emosi-emosi tertentu tentang kesesuaian atau ketidaksesuaian, approval or disapproval.[13]     
Jelas saja kalangan positivist memvonis bahwa moral language atau moral statement tidaklah ilmiah, sebab ia tidak bisa diverifikasi dan tidak juga diobservasi sesuai norma-norma ilmiah. Inilah yang menurut emotivist, seperti Stevenson dkk, merupakan kegagalan para positivist di dalam mencandra makna emotif yang ada dalam setiap perilaku manusia. Dengan bahasa lain, emotivisme merupakan reaksi terhadap pandangan positivisme yang memiliki kontribusi luar biasa terhadap dinamika sains dan teknologi.
Penting untuk ditegaskan bahwa Stevenson bukanlah satu-satunya filosof teori emotif. Ada banyak filosof yang juga merupakan bagian dari perkembangan teori ini, bahkan sebelum Stevenson sekalipun. Menurut J.O Urmson dalam bukunya The Emotive Theory of Ethics (London, 1968), teori ini telah diperkenalkan oleh para filosof yang berbahasa Inggris, di antaranya adalah I.A. Richard dan C.L. Ogden dalam karya mereka The Meaning of Meaning (London, 1923). Bahkan, filosof Swedia, A. Hagerstrom (w. 1939) juga telah mengembangkan teori ini. Sayangnya, kata Urmson, karya-karya Hagerstrom tidak bisa dilacak. Nama-nama lain yang juga bisa disebut di sini adalah W.H.F. Barnes, C.D. Broad, A.S. Duncan-Jones, Susan Stebbing, Karl Britton, Alfred J. Ayer[14] (yang seusia dengan Stevenson). Kebetulan, tutur Urmson, di Stevenson-lah teori ini menampakkan wujudnya secara lebih baik,[15] sehingga ketika memperbincangkan teori emotif, nama Stevenson menjadi rujukan utamanya, termasuk dalam makalah ini. 

D.    What is “good”?
Pada pertemuan sebelumnya, Muhammad Umar telah membahas pemikiran G.E. Moore tentang teori intuisionisme. Salah satu pemikiran Moore adalah bahwa kebaikan tidak akan pernah bisa didefinisikan, sebab ia tidak memiliki padanan apapun. “Jika anda”, kata Moore, “mencoba untuk mengatakan ‘sesuatu adalah baik jika …’, maka anda tidak akan menemukan sebuah definisi yang tanpa membatasi dan mereduksi arti kebaikan itu, dan karenanya ia tidak bisa diterapkan terhadap benda lain”.[16] 
Sementara itu, menurut Stevenson, kata “baik” sering didefinisikan ke dalam term “persetujuan” (approval), atau sikap-sikap psikologis serupa. Kita barangkali mengambil contoh: “baik” berarti “diingini saya”, desired by me (Hobbes); atau “baik” bermakna “disetujui oleh mayoritas”, approved by most people (Hume). Stevenson menyebut dua definisi ini dengan teori kepentingan, “interest theories”.[17]
Stevenson mengklaim bahwa banyak kalangan yang menyatakan kalau interest theories masih jauh dari sempurna. Mereka menilai teori-teori itu telah mengesampingkan hakikat “baik” yang menjadi cirikhas etika. Sudah barang tentu mereka memiliki argumen yang kuat, alias tidak “asal bunyi” (asbun). Menurutnya, ketika muncul pertanyaan “apa cirikhas dari ‘baik’”, maka jawabannya pasti remang-remang dan penuh dengan kesulitan-kesulitan sehingga kita praktis tidak bisa menangkapnya. Meski begitu, ada syarat-syarat tertentu dengan mana cirikhas “baik” menjadi lebih sempurna.
Pertama, kita harus mampu secara arif untuk tidak sepakat mengenai suatu hal, “baik” atau “buruk”. Kondisi semacam ini tentu mengeliminasi definisi Hobes. Hobes mengartikan ungkapan “Ini bagus” dan “Itu jelek” dengan “Saya menginginkan ini” dan (karenanya) “Saya tidak menginginkan itu”. Menurut Stevenson, pembicara tersebut tidak bertentangan dengan yang lain. Pembicara hanya memikirkan dirinya sendiri. Ini dapat dilihat dari ambiguitas mendasar dari penggunaan kata gantinya (pronoun), yaitu “saya”. Karena itu, definisi yang menyatakan bahwa “baik” berarti “diinginkan oleh komunitas saya” (desired by my community) juga harus dihilangkan. Bagaimana mungkin komunitas eksternal bisa menolak, kalau ungkapan tersebut hanya untuk komunitas internal saja.
Kedua, “kebaikan” pasti memiliki “magnetism” (daya tarik) atau koneksi antara kebaikan dan perbuatan. Seseorang yang mengakui bahwa X adalah sesuatu yang “baik” tentunya lebih condong untuk berbuat dalam konteks kebaikan X daripada sekedar menyetujuinya. Hal ini jelas mengeliminasi definisi Hume, sebab  “mengakui bahwa sesuatu adalah baik, berarti mengakui bahwa mayoritas menyetujuinya.” Faktanya, seseorang mungkin memandang bahwa mayoritas menyepakati tentang X tanpa memiliki dorongan kuat untuk menunaikannya. Persyaratan ini menutup setiap usaha untuk mendefinisikan “baik” dalam term kepentingan mayoritas daripada pembicara sendiri.
Ketiga, “kebaikan” segala sesuatu tidak mesti bisa diverifikasi dengan menggunakan metode ilmiah (scientific method). “Etika belum tentu psikologi”. Batasan ini pada gilirannya mengeliminasi seluruh teori kepentingan tradisional (the traditional interest theories)[18] tanpa terkecuali. Ia juga memusnahkan sebuah batasan bahwa kita harus mempertimbangkan rasionalitasnya.[19]
Stevenson dengan tegas menolak teori kepentingan tradisional ini. Menurutnya, teori itu masih belum utuh. Ia hanya mendeskripsikan atau menggambarkan tentang suatu pertimbangan etis (ethical judgments). Padahal, tujuan utama dari pertimbangan etis adalah untuk menciptakan pengaruh terhadap orang lain, bukan hanya menggambarkan atau mendeskripsikannya. Misalnya, ketika anda berkata kepada seseorang bahwa mencuri adalah perbuatan tidak terpuji, anda tidak sebatas menginformasikan kepadanya bahwa masyarakat menolak tindakan mencuri, tetapi anda sedang mempengaruhinya agar ia juga sepakat bahwa mencuri itu perbuatan tidak terpuji. Jika ternyata anda gagal mempengaruhinya, maka anda akan mengemukakan alasan-alasan tertentu untuk mendukung penilaian etis anda, misalnya dengan menjelaskan konsekuensi-konsekuensi dari perbuatan tersebut. Menurut Stevenson, perbedaan teori kepentingan tradisional dengan teori dirinya adalah seperti “perbedaan antara menggambarkan padang pasir dengan mengairinya”.[20]
Contoh lain: Presiden Amerika Serikat George Walker Bush menggonggong, “terrorism is dangerous”. Jika dia hanya bermaksud bahwa dia tidak setuju terhadap terorisme, atau hendak menyatakan bahwa kebanyakan orang menolak terorisme, maka pandangan Bush sama sekali tidak menarik. Bush tidak bermaksud demikian. Dia tidak menggambarkan ungkapan ketidaksetujuan masyarakat terhadap terorisme. Apa yang dilakukannya adalah mempengaruhi pandangan masyarakat agar mengamini pandangannya bahwa terorisme merupakan ancaman serius terhadap kedamaian manusia. Stevenson melihat kasus semacam ini sebagai bukti “bahwa ungkapan etik mungkin dimanfaatkan untuk tujuan jahat.”[21]

E. Standar Ganda Bahasa
        Pada umumnya, kita menggunakan bahasa untuk dua kepentingan. Pertama, bahasa (sebagaimana di dalam sains) digunakan untuk merekam, mengklarifikasi atau mengkomunikasikan “keyakinan-keyakinan tertentu”. Kedua, bahasa digunakan untuk memberikan ruang bagi perasaan (seperti Oh!, Subhanallah!, Aduuuuuh!) atau untuk mengekspresikan suasana hati (seperti puisi), atau untuk mempengaruhi orang lain untuk bersikap atau berbuat sesuatu (seperti orator). Stevenson menyebut yang pertama dengan “deskriptif”, dan yang kedua, “dinamis”. Perlu dicatat bahwa perbendaan antara keduanya sangat tergantung kepada tujuan si pembicara.[22]
          Ketika marjuki berkata, “Al-Qur’an al-Karim adalah wahyu Allah swt”, tujuannya barangkali sederhana, yakni mengkomunikasikan bahwa dirinya meyakini hal itu. Sebuah kalimat, dalam konteks ini, digunakan secara deskriptif. Akan tetapi, ketika melihat ciptaan Tuhan yang paling indah nan menawan, seraya bergumam, “Subhanallah”, maka Zainal bukan lagi untuk merekam, mengklarifikasi, atau mengkomunikasikan keyakinan apapun. Kata tersebut, dalam kategori Stevenson, digunakan secara dinamis.    
          Stevenson menggarisbawahi bahwa dua penggunaan bahasa itu cenderung eksklusif. Ini mengingat pada kenyataannya tujuan manusia seringkali begitu kompleks, sehingga ketika ada seseorang berkata, “I want to close the door”, di satu sisi dia bertujuan untuk mengarahkan si pendengar bahwa dirinya (si pembicara) mempunyai keinginan untuk menutup pintu,  tetapi di sisi lain, tujuan utama orang tersebut adalah mengarahkan si pendengar untuk “memenuhi” keinginannya. Kalimat yang pertama digunakan secara deskriptif, sedangkan kalimat yang kedua digunakan secara dinamis.[23]
           Ada pula bahasa yang sepintas digunakan secara dinamis, tetapi pada saat yang sama ternyata bisa gunakan secara deskriptif. Misalnya, seorang mahasiswa pascasarjana di Universitas Islam Suparman Syukur (UISS) berkata, “Hai Coy, saya mendapat tugas Filsafat Etika yang amat sangat sulit”. Tujuannya barangkali untuk menginformasikan kepada teman-temannya apa yang sedang dia alami. Kalimat itu tentunya bukan kalimat “dinamis”, tetapi deskriptif. Meski bagitu, ia bisa menjadi kalimat dinamis dan sekaligus deskriptif apabila yang bersangkutan bermaksud untuk memperoleh simpati dari teman-temannya.    
        Melalui uraian di atas dapat disederhanakan bahwa kalimat deskriptif adalah kalimat yang memiliki arti literal (literal meaning). Artinya, makna suatu kalimat cukup dilihat dari susunan gramatikalnya, atau secara kasat mata saja. Sementara itu, kalimat dinamis adalah kalimat yang memiliki makna emotif (emotive meaning),[24] yaitu kalimat yang digunakan untuk mempengaruhi sikap pendengar.

F.     Emotive Theory ala Stevenson

Hal yang paling mendasar dari teori emotif Stevenson terletak pada fungsi bahasa atau kalimat moral. Fungsi utama bahasa atau kalimat moral, menurut Stevenson, adalah untuk mengarahkan kembali sikap-sikap orang lain sehingga mereka sesuai dengan sikap kita, the primary function of moral words is to redirect the attitudes of others so that they accord more fully with our own.[25]   
Istilah mengarahkan kembali berkonotasi bahwa terdapat perselisihan (disagreement) antara kita dan pendengar. Stevenson sendiri membedakan disagreement menjadi dua macam: (1) disagreement in belief (perselisihan keyakinan), dan (2) disagreement in interest (perselisihan kepentingan). Perselisihan keyakinan terjadi ketika A meyakini X, dan B tidak meyakininya. Perselisihan kepentingan muncul ketika A berkepentingan terhadap X, sementara B tidak.[26]     
Mari kita perhatikan contoh yang jamak kita alami dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan keluarga, asrama/kos-kosan, dan semacamnya.
A: “Ayo kita nonton sepak bola.”
B: “Tidak, saya tidak suka sepak bola. Kita nonton ‘Dunia Tampa Koma (DTK)’ saja.”
A: “Tidak, kita harus nonton sepak bola.”
B: “Bodoh ah, pokoknya kita harus nonton DTK.”
Perdebatan itu terus berlangsung. Kedua belah pihak tidak ada yang mau mengalah. Keduanya sama-sama bersikeras agar keinginannya terpenuhi, dan mereka sama-sama berusaha untuk redirect kepentingan “lawannya”.
A barangkali berdalih bahwa pertandingan sepak bola kali ini sangat menarik. Ini pertandingan final World Cup 2006, di mana yang bertanding adalah Italia vs Perancis. Karenanya, sangat disayangkan apabila pertandingan ini dilewatkan. Ini hanya terjadi selama empat tahun sekali, serta argumentasi-argumentasi lainnya. Ternyata B tidak mau kalah. Menurutnya, episode kali ini sangat seru. Kita akan disuguhi tontonan yang mengesankan. Di tengah kesibukan dalam dunia jurnalistik, Aktor X ternyata diterpa virus cinta lokasi dengan Aktris Y. Padahal Y sejak lama sudah “dilirik” oleh The Big Boss perusahaan itu. Karena itu, jika kita melewatkan episode ini, kita akan kehilangan jejak alur ceritanya, dan alasan-alasan yang lain.
Bagi Stevenson, di situ tidak dikenal yang namanya dominasi, sebab mereka sama-sama mengeluarkan jurus-jurus mautnya untuk mempengaruhi satu sama lain. Ini yang menjadi argumentasi Stevenson bahwa teori kepentingan tradisional cukup lalai dalam menangkap makna emotive meaning ini. Bagi teori tradisional, pertimbangan moral hanya digunakan secara deskriptif, dan karenanya tidak memiliki makna emotif. Kalaupun ada perselisihan, tambah Stevenson, perselisihan tersebut hanya pada wilayah keyakinan. Ini jelas berbeda dengan perselisihan dalam konteks kepentingan.[27]
Kita amati contoh yang lain. Terdapat percakapan antara dua mahasiswa di sebuah toko buku, sebut saja Gramedia. Taruhlah antara A (mahasiswa S1 Walisongo) dan B (mahasiswa S2 dari PT yang sama), mengomentari sebuah buku yang berjudul ‘FILSAFAT ETIKA SEPANJANG MASA’ yang masih dibungkus plastik.
A: “Wah, ini buku bagus”.
B: “Ah tidak juga. Itu buku jelek”.
A: “Lho, ko’….”
B. “Iya, karena buku itu adalah kumpulan tulisan para mahasiswa dari PTS “kampungan” di tetangga sebelah itu”.
A: “Ooo….” (tanda setuju dengan si B)
Dialog di atas menunjukkan adanya perubahan sikap pada diri A yang semula memandang buku itu bagus menjadi seperti apa yang disampaikan oleh temannya. B dalam hal ini mengemukakan alasan-alasan empiris, mengingat dia sudah membaca buku itu sampai “TAMAT”, sehingga ia tahu persis isi dan kualitasnya. Akhirnya, B berhasil merubah sikap A dengan fakta-fakta empiris.
Ini sesuai dengan generalisasi Stevenson bahwa, “perselisihan kepentingan seringkali berakhir ketika mereka mengetahui secara pasti hakikat dan konsekuensi-konsekuensi mengenai obyek yang mereka perselisihkan. Artinya, perselisihan kepentingan bisa jadi diselesaikan melalui kesepakatan tentang keyakinan, yang barangkali diperoleh secara empiris”.[28]
Pertanyaan yang barangkali bisa diketengahkan dalam perbincangan emotive theory Stevenson adalah apakah semua kesepakatan etis (ethical agreement) bisa dicapai melalui pendekatan empiris? “Jelas tidak”, tegas Ste-venson. Alasannya, pengetahuan empiris hanya menyelesaikan perselisihan kepen-tingan yang berakar dari perselisihan keyakinan, seperti contoh di atas. “Tidak semua perselisihan sama dengan kasus tersebut”, tambahnya.[29]  Misalnya, A adalah orang yang dermawan (apalagi di bulan Ramadhan seperti sekarang), sedangkan B adalah termasuk orang yang pelit bin bakhil. Mereka berdebat mengenai kebaikan dari shodaqoh. Anggap saja mereka sepakat mengenai manfaat dari shodaqoh itu. Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa A akan mengatakan bahwa shodaqoh itu baik, sementara B tetap bersikukuh pada pendiriannya dengan mengatakan shodaqoh itu jelek. Perselisihan kepentingan di sini ternyata tidak muncul dari keterbatasan pengetahuan (seperti pada contoh sebelumnya), tetapi semata-mata karena A adalah sosok budiman, sedangkan B adalah potret bakhil sejati.
Barangkali masih memunculkan pertanyaan lain dari uraian di atas, bagaimana jika perselisihan itu ternyata tidak muncul dari perselisihan keyakinan, adakah metode rasional atau empiris yang bisa dibangun?
Jika mengacu pada pandangan Stevenson sebelumnya, maka jawabannya jelas “tidak ada”, sebab Stevenson dengan tegas memberi rambu-rambu bahwa pendekatan empiris atau rasional bisa saja digunakan dengan catatan perselisihan itu berakar dari perselisihan keyakinan, bukan dari lainnya. Padahal, di sini yang menjadi persoalan adalah perselisihan yang berakar dari selain keyakinan.
Tunggu dulu. Jangan kecewa dan jangan sedih. Stevenson telah menyiapkan jalan keluarnya. Menurutnya, dalam kasus semacam itu, pendekatan yang dipakai memang bukan pendekatan rasional atau empiris, akan tetapi pendekatan persuasif. Stevenson menulis,
“The point I wish to stress is simply that the empirical method is instrumental to ethical agreement only to the extent that disagreement in interest is rooted in belief. There is little reason to believe that all disagreement is of this sort. Hence the empirical method is not sufficient for ethics. In any case, ethics is not psychology, since psychology does not endeavor to direct our interests; it discovers facts about the ways in which interests are or can be directed, but that is another matter.”[30]      
 
“Poin penting yang ingin saya tekankan di sini cukup sederhana, yaitu metode empiris bisa menjadi alat bagi pertimbangan etik dengan catatan perselisihan kepentingan yang terjadi berakar dari perselisihan keyakinan. Kecil sekali alasan untuk mempercayai bahwa semua perselisihan persis sama seperti ini. Karena itu, pendekatan empiris tidak akan mampu meng-cover semua masalah etika. Dalam banyak hal, etika bukanlah psikologi, sebab psikologi tidak berupaya untuk mengarahkan kepentingan kita. Ia mengungkap fakta-fakta tentang banyak hal di mana kepentingan kita diarahkan atau bisa diarahkan. Akan tetapi, ini soal lain.”
 
Perhatikan lagi contoh perselisihan antara A (si pemurah) dengan B (si bakhil) di atas. Mungkinkah di akhir perdebatan mereka muncul ungkapan, “Ok lah, ini hanya masalah perbedaan temperamen antara kita berdua”? jawabannya, belum tentu. Menurut Stevenson, ada kemungkinan A terus berusaha untuk merubah temperamen lawan bicaranya, B. A barangkali mencurahkan antusiasme dirinya agar mampu merubah pendirian B dengan cara mengajaknya untuk melihat kehidupan masyarakat lemah, mustadl’afîn, fuqarâ’ aw masâkîn, dari sudut yang berbeda. A bisa jadi mentransmisikan perasaannya dengan merubah temperamen B dan sukses memunculkan rasa simpati dalam diri B yang sebelumnya tidak (pernah) ada.[31]
Apa yang dilakukan oleh A jelas-jelas bukan pendekatan empiris ataupun rasional, melainkan pendekatan persuasif. Ini bisa dilalaui manakala tidak ada cara lain untuk merubah sikap orang lain. Pendekatan persuasif tentu sudah masuk pada wilayah psikologi. Psikologi sendiri tidak berusaha untuk mengarahkan sikap kita. Ia mengungkap fakta-fakta tentang banyak hal di mana sikap kita diarahkan atau bisa diarahkan. Tetapi, menurut Stevenson, ini persoalan lain di luar fokus perbincangan tentang emotive theory.[32]  

G. Kritik Terhadap Emotive Theory
No one is perfect. Sebuah ungkapan klasik yang sering kita dengar dalam banyak kesempatan. Ini juga terjadi dalam dunia pemikiran, tak terkecuali dalam filsafat. Seperti telah diurai sebelumnya, kehadiran emotive theory, khususnya Stevenson, tidak lain sebagai respons atau kritik terhadap positivisme logik dan intuisionisme. Kini, giliran emotive theory yang menuai ‘protes’ dari sejumlah pemikir lain. Ini wajar, bukan.
Bangunan emotive theory ternyata tidak sekokoh yang dibayangkan. Masih tampak celah menganga sejumlah sudut teorinya yang memungkinkan para pemikir untuk mengkritisi—untuk tidak mengatakan membantai—teori tersebut, yang pada gilirannya akan melahirkan dialektika gagasan. Dialektika gagasan semacam ini sejak dahulu kala sudah dan akan terus berlangsung. Entah hingga kapan. Pastinya, ia menjadi salah satu garansi dinamika wacana keilmuan di dalam atmosfir intelektual yang terus berubah.   
Grand design pemikiran Stevenson memposisikan “pernyataan etik sebagai instrumen untuk mempengaruhi sikap orang lain. Lantas bagaimana dengan iklan, poster, layanan komersial televisi, statemen-stetemen politik, dan semacamnya? Semua itu juga digunakan untuk mempengaruhi sikap orang lain. Bisakah ungkapan-ungkapan tersebut dikategorikan ke dalam emotive theory, sebagaimana pandangan Stevenson?
Bagi G.J. Warnock, ini merupakan awal kelemahan emotive theory. Menurutnya, emotive theory terlalu general, atau barangkali lupa untuk memberi batasan-batasan mana yang memiliki emotive meaning dan mana yang tidak.[33] 
Masih menurut Warnock, dimensi lain yang menggambarkan kekurangan, atau bahkan kesalahan besar, dari emotive theory adalah ambiguitas antara definisi attitude (sikap) dan feeling (perasaan). Ada kecenderungan bahwa emotive theory mengidentifikasi attitude dengan feeling. Ini bukan hanya salah, tetapi benar-benar salah (this was not merely wrong; it was disastrously wrong).[34]   
Vonis Warnock barangkali bisa dijelentrehkan melalui contoh berikut. Anggap saja si Polan tidak menyukai perilaku temannya, sebut saja Mr. Bush, yang menjijikkan. Ketidaksukaan si Polan terhadap perilaku Bush itu merupakan ekspresi perbedaan feeling dari keduanya. Dan ketika si Polan mencoba untuk merubah perilaku Bush, maka dia telah masuk ke dalam emosi Bush. Nah, ketika si Polan menggunakan feeling-nya di dalam diri Bush, masih bisakah dikatakan bahwa si Polan menggunakan emotive language. Jawabannya, menurut Warnock, “jelas TIDAK, sebab perubahan diri Bush tidak diperoleh melalui argumentasi, melainkan psikologi; bukan rasionalisasi, tetapi manipulasi.”[35]
Pada point sebelumnya ada contoh seperti ini: “Ini bagus”. Bagi Stevenson, kalimat ini berarti, “Saya menyukainya; Anda seharusnya demikian”. Menurutnya, kalimat itu memiliki emotive meaning yang dugunakan untuk mempengaruhi atau merubah sikap orang lain agar sesuai dengan sikap kita.
A.R.C. Duncan, dalam bukunya Moral Philosophy, menganggap alur pikir Stevenson itu tidak saja ada kekaburan mengenai perbedaan antara arti (meaning) dan kebenaran (truth), tetapi juga kekacauan dua makna bahasa yang berbeda. Misalnya, kata Duncan, ketika istri saya sedang sibuk mempersiapkan hidangan pesta makan malam, tiba-tiba saya berseloroh, “Yank, saya tidak menyukai Mr. X”. Dia barangkali menafsirkannya tidak saja bahwa saya benci Mr. X, tetapi juga saya tidak ingin mengundang Mr. X dalam pesta itu. Dia barangkali menjawab, “Maksudmu, kamu tidak suka kalau saya mengundangnya”. Dia menggunakan kata “maksud” yang menunjukkan bahwa ada “tanda-tanda” tertentu di dalam pernyataan saya tadi.[36]
Apa yang dikatakan istri Duncan tadi sama dengan kehidupan kita. “TV-nya hidup”, berarti “orangnya ada di rumah”. Kalimat pertama di satu sisi memiliki arti sesuai dengan gramatikal kalimat itu sendiri, sementara di sisi lain hidupnya televisi itu menjadi tanda bahwa sang pemilik rumah ada di dalam”. Bagi Stevenson, emotive meaning tidak diperoleh dari susunan gramatikal bahasa, melainkan dari makna di balik kalimat itu sendiri. Akan tetapi, pada kasus di atas, suatu kalimat ternyata memiliki makna emotive pada susunan pertamanya. Karena itu, “What the emotive theory fails to do is to show convincingly that it does not have meaning in the first or literal sense”, ujar Duncan.[37]
Duncan melanjutkan kritiknya terhadap emotive theory, seperti terlihat dalam tulisan berikut:
“If we were to say to someone, “You ought to keep that promise to Zainal Abidin”, he might ask what I meant by saying he ought to. If I than replied “I am really telling you to keep it”, the only appropriate response would be for him to say “Who do you thing you are to give me orders” and to that I can see no reply that I can give—except to say that I wasn’t ordering him at all, just trying out an ethical theory in which I don’t really believe.”[38]

“Seandainya kita berkata kepada seseorang, “Seharusnya anda menepati janji kepada saudara Zainal Abidin”, dia barangkali langsung bertanya apa maksud saya ko’ bilang ia harus tepat janji. Jika kemudian saya menjawab, “Saya sungguh berkata kepada anda agar anda menepati janji”. Maka, respons yang paling mungkin terjadi dari orang itu adalah, “Anda pikir diri anda siapa, ko’ (seenaknya) menasehati saya”. Dalam posisi demikian saya pasti “kelepotan” dan tidak ada sepatah kata pun untuk menanggapinya—kecuali bergumam bahwa saya tidak menyuruhnya sama sekali, alias gagal. Saya hanya mencoba untuk mempraktekkan sebuah konsep teori etika (emotive theory) yang sebenarnya masih belum benar-benar saya yakini.”

Duncan sebetulnya hendak menegaskan bahwa emotive theory tidak jauh berbeda dengan perintah, command. Masalah yang besar menurutnya adalah ketika orang yang ingin kita pengaruhi ternyata mempertanyakan posisi atau hak kita pada saat berusaha mempengaruhi orang lain. Ketika berada dalam keadaan seperti itu, menurut Duncan, kita tidak bisa berbuat apa. Bahkan, dengan bahasa sindiran, Duncan meragukan bangunan pemikiran emotive theory.
Apa yang disampaikan Duncan sesungguhnya absah-absah saja. Tapi, dalam hemat penulis, Duncan ternyata juga kurang utuh dalam mencandra emotive theory. Contoh yang dikemukakannya sangat tidak pas, sekedar tidak mengatakan salah. Pasalnya, ungkapan atau pertimbangan etik Stevenson tidak menggunakan kalimat perintah (imperative statement). Artinya, usaha untuk mempengaruhi atau merubah sikap orang lain yang menjadi lawan bicara kita tidak tampak dalam kalimat yang diutarakan.
Misalnya kita berkata, “Buku ini bagus”, dengan artian “Saya suka buku itu, dan karenanya orang lain seharusnya juga menyukainya”. Pada kalimat “Buku ini bagus” sama sekali tidak tampak sebuah kalimat perintah. Kalimat itu hanyalah kalimat naratif, yang di dalamnya tersirat emotive meaning sebagaimana dikehendaki oleh si penutur (speaker). Ini jelas berbeda dengan contoh Duncan di atas, di mana dengan jelas mengandung unsur perintah.
Coba perhatikan sekali lagi kalimat Duncan tadi, “Anda seharusnya menepati janji kepada Zainal Abidin”. Sejak diutarakan kalimat itu sudah mengandung perintah. Terang saja orang yang diajak bicara seraya menimpali, “Memangnya anda siapa, ko’ berani-beraninya menasehati saya”. Secara psikologis, balasan seperti ini wajar-wajar saja, sebab pribadi seseorang cenderung sulit menerima nasehat orang lain, sekalipun dia sadar sesadar-sadarnya bahwa nasehat itu benar adanya.    
Ada kritikus lain yang lebih tajam ketimbang “vonis” Duncan di atas, yaitu Alasdair Mac Intyre, dalam bukunya A Short History of Ethics. Mac Intyre mencatat bahwa ada kekurangjelasan dari apa yang disebut emotive meaning. Bagi Mac intyre, situasi dan kondisi (seperti keinginan, kepentingan, kebutuhan, dan lain-lain) sangat berpengaruh terhadap seberapa kuat pengaruh dari pertimbangan atau kalimat etik. Bisa jadi sebuah kalimat etik praktis tidak memiliki arti apa-apa ketika disampaikan dalam situasi atau tempat yang berbeda.[39]
Perhatikan contoh ini, “The white house is on fire” (Gedung Putih dilalap si Jago Merah). Kalimat ini kemungkinan besar tidak memiliki efek apa-apa seandainya diberitakan melalui media massa kepada rakyat London, apalagi Indonesia (Jika diberitakan di Indonesia, kita barangkali bergumam: “Mati kau, Bush”). Sebaliknya, situasinya akan jauh berbeda jika diberitakan di Amerika, atau setidak-tidaknya disampaikan kepada Bush dan para pejabat lainnya, maka kalimat itu akan menjadi warning kepada Bush bahwa Gedung Putih dalam kondisi gawat-darurat.[40]Jadi, emotive meaning yang diharapkan oleh penyampai berita bisa mengena dengan sempurna.
Kritik yang tidak kalah baiknya dilontarkan oleh Urmson, sebagaimana dikutip W.D. Hudson dalam Modern Moral Philosophy. Urmson menilai terdapat inkosistensi dalam alur analisis Stevenson. Misalnya A berkata, “Ini bagus”. Menurut Stevenson kalimat itu bermakna, “Saya suka ini, maka anda seharusnya juga menyukainya”. Jika kemudian B menjawab, “Ya, itu sangat bagus. Saya menyukainya”, menurut Stevenson A telah sukses merubah sikap B. Benarkah demikian? Jawabnya: belum tentu, sebab ada kemungkinan besar sejak awal B memang punya penilaian bahwa barang itu memang bagus, hanya saja masih belum diartikulasikan dalam bentuk kata-kata. Artinya, dalam kasus ini, A sama sekali tidak mempengaruhi atau merubah sikap B.[41] A mengungkapkan pertimbangan moralnya, dan B juga melakukan hal yang sama. Tidak ada perubahan sikap dari keduanya.
Secara pribadi penulis yakin bahwa pastinya ada tanggapan balik dari Stevenson atas kritikan-kritikan yang diarahkan kepada pemikiran dirinya. Ini mengingat kritikan-kritikan itu rata-rata dilontarkan pada paruh kedua tahun 1960 hingga 1970-an, di mana Stevenson masih hidup. Stevenson meninggal pada tahun 1979. Sayang, karena keterbatasan literatur dan kemampuan pribadi penulis, penulis tidak memperoleh rujukan yang memuat jawaban-jawaban Stevenson atas berbagai ktitikan itu. Seandainya ada, penulis yakin bahwa kajian atas gagasan Stevenson ini akan lebih menarik, sekalipun tidak sempurna.

H.    Kesimpulan 

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
a.      Emotive theory pada dasarnya merupakan respons terhadap positivisme logik dan intuisionisme. Teori itu mulai muncul sejak awal abad ke-20, dengan sejumlah filosof yang turut berpartisipasi di dalamnya. Teori ini kemudian menampakkan wajahnya yang lebih baik di saat Stevenson turut menyumbangkan gagasan-gagasan briliannya.
b.      “Baik” memang merupakan sesuatu yang sulit didefinisikan, dan karenanya ia masih tetap aktual untuk dipersoalkan. Stevenson sendiri tidak mengajukan definisi tentang apa itu baik. Hanya saja, menurutnya, “baik” mesti memiliki tiga indikator: (1) memungkinkan terjadinya perselisihan pandangan, (2) ada koneksi antara kebaikan dan perbuatan, dan (3) tidak mesti bisa diverifikasi dengan menggunakan metode ilmiah.
c.      Bahasa bisa diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu: (1) bahasa deskriptif, yang memiliki literal meaning, dan (2) bahasa dinamis, yang memiliki emotive meaning. Tetapi ada kalanya bahasa digunakan secara deskriptif dan dinamis.
d.     Emotive theory Stevenson menekankan bahwa pertimbangan etik atau kalimat etik diungkapkan untuk mengarahkan atau merubah sikap orang lain yang menjadi obyek dari ungkapan tersebut.
e.      Kritik yang diarahkan kepada emotive theory Stevenson meliputi: (1) teori tersebut dianggap tidak memberikan batasan yang pasti mana yang memiliki emotive meaning dan mana yang tidak, (2) Stevenson disinyalir menggeneralisasikan masalah, sebab cenderung mengartikan attitude dengan feeling, padahal keduanya jelas berbeda, (3) ada kekacauan pada alur pemikiran Stevenson, yaitu mengenai perbedaan meaning dan truth, (4) emotive theory tidak ubahnya adalah perintah (command), (5) emotive meaning yang ada di dalam kalimat etik seseorang kemungkinan besar tidak memiliki arti apa-apa jika kalimat itu diungkapkan dalam situasi, kondisi dan domisi (sikondom) yang berbeda, dan (6) emotive theory dinilai tidak memberikan parameter yang jelas apakah seseorang berhasil kita arahkan sikapnya, atau memang sejak awal memiliki sikap yang sama dengan kita.

2.      Saran-saran
Berdasarkan temuan-temuan di atas, selanjutnya disarankan:
a.      kepada para pemerhati filsafat etika, khususnya mahasiswa pascasarjana IAIN Walisongo semarang yang mengkaji Filsafat Etika, untuk terus menggali pemikiran Stevenson tentang emotive theory, sebab apa yang disampaikan di sini hanyalah sebagian kecil dari pemikiran Stevenson yang begitu luas,
b.      perlu adanya studi terhadap pemikiran emotivist-emotivist lainnya, sehingga diketahui secara lebih utuh titik persamaan dan perbedaan pemikiran pada masing-masing emotivist tersebut,

***




DAFTAR PUSTAKA


Alston, William P., “Emotive Theory of Ethics”, in Paul Edward (ed.), The Encyclopedia of Philosophy, I, Canada: Macmillan Publishing, 1967
Audi, Robert (ed.), The Cambridge Dictionary of Philosophy, 2nd Edition, Cambridge: Cambridge University Press, 1999
Ayer, A.J., “Moral Judgments as Emotive”, in James Rachels (ed.), Understanding Moral Philosophy, California: Dickenson Publishing Company, 1976 
Brand, Richard B., “Stevenson, C.L.” in Philip P. Hallie (ed.), The Encyclopedia of Americana [International Edition], New York: Americana Corporation, 1976
Denise, Theodore C., (ed.), Great Tradition in Ethics, New York: Wadsworth Publishing Company, 1999
Duncan, A.R.C., Moral Philosophy, Toronto: CBC Publications, 2nd Edition, 1970
Hudson, W.D., Modern Moral Philosophy, New York: Anchor Books, 1970
Mac Intyre, Alasdair, A Short History of Ethics, New York: McMillan Publishing Company, 1966
Perry, Thomas D., Moral Reasoning and Truth en Essay in Philosophy and Jurisprudence, Oxford: Clarendon Press, 1976 
Stevenson, C.L., “The Emotive Meaning of Ethical Terms”, in Kenneth Pahel & Marvin Schiller (ed.), Reading in Contemporary Ethical Theory, New Jersey: Prentice-Hall, 1970
Thompson, Mel, Ethics, Chicago: Contemporary Books, 2000
Warnock, G.J., “The Errors of Emotivism”, in James Rachels (ed.), Understanding Moral Philosophy, California: Dickenson Publishing Company, 1976



[1] W.D. Hudson, Modern Moral Philosophy, (New York: Anchor Books, 1970), hlm. 108
[2] Alasdair Mac Intyre, A Short History of Ethics, (New York: McMillan Publishing Company, 1966), hlm. 257 
[3] Ibid, hlm. 257
[4] Lihat Richard B. Brand, “Stevenson, C.L.” in Philip P. Hallie (ed.), The Encyclopedia of Americana (International Edition), (New York: Americana Corporation, 1976), hlm. 707. Ada versi lain yang menyebutkan bahwa Stevenson mendapatkan gelar B.A. (Bachelor of Arts) di Yale University (1930) dan Cambridge University (1933). Menurut versi kedua, Stevenson tidak memperoleh gelar B.A dari Harvard sebagaimana yang ditulis dalam The Encyclopedia of Americana. Lebih lanjut, baca Theodore C. Denise (ed.), Great Tradition in Ethics, (New York: Wadsworth Publishing Company, 1999), hlm. 288
[5] C.L. Stevenson, “The Emotive Meaning of Ethical Terms”, in Kenneth Pahel & Marvin Schiller (ed), Reading in Contemporary Ethical Theory, (New Jersey: Prentice-Hall, 1970), hlm. 2.
[6] Ibid, hlm. 53
[7]  Stevenson, “The Emotive…, op.cit., hlm. 52-53 
[8] Mel Thompson, Ethics, (Chicago: Contemporary Books, 2000), hlm. 37. Pandangan bahwa emotive theory ini termasuk dalam rumpun metaetika juga dikemukakan oleh William P. Alston dalam The Encyclopedia of Philosophy. Selain metaetika, Alston juga menyebut istilah lain, yaitu etika kritis (critical ethics) yang merupakan lawan dari teori substantif (substantive theory), seperti hedonisme atau utilitarianisme. Jadi, emotive theory mirip dengan teori-teori filosofis tentang makna atau justifikasi terhadap pernyataan-pernyataan ilmiah. Ini jelas berbeda dengan teori-teori sains, seperti teori evolusi Charles Darwin. Baca, William P. Alston, “Emotive Theory of Ethics”, in Paul Edward, The Encyclopedia of Philosophy, I, (Canada: Macmillan Publishing, 1967), hlm. 493    
[9] Ibid, hlm. 37
[10] Ibid, hlm. 38
[11] Baca A.R.C. Duncan, Moral Philosophy, 2nd Editions, (Toronto: CBC Publications, 1970), hlm. 37-38. Klasifikasi yang relatif sama juga dapat ditemukan dalam tulisan A.J. Ayer —salah satu tokoh emotivisme selain Stevenson— dalam bukunya Language, Truth and Logic. Dia menyegarkan kembali pandangan-pandangan Hume, tetapi bukan dalam konteks sebagai seorang positivist-logik tentang teori ilmu pengetahuan. Bagi Ayer, pertimbangan moral dapat dipahami dalam tiga kategori: logical, factual dan emotive judgments. Yang pertama adalah kebenaran logika dan matematika yang berasal dari analisis; yang kedua, kebenaran (atau kesalahan) sains dan pengetahuan rasional (common-sense knowledge) yang dapat diteliti secara empiris, dan ketiga adalah kategori “sisa”, bukan termasuk ke dalam logika, bukan pula sains. Etika dan teologi masuk dalam kategori ketiga ini. Lihat, Mac Intyre, A Short History…, op.cit., hlm. 255. Bandingkan juga dengan Denise (ed.), Great Tradition…, op.cit., hlm. 289
[12] Denise, Ibid., hlm. 289-90
[13] Duncan, Moral Philosophy…, op.cit., hlm. 38
[14] Sekalipun A.J. Ayer hidup semasa dengan Stevenson dan juga termasuk salah satu filosof emotive theory, namun stressing gagasan Ayer berbeda dengan Stevenson. Bagi Ayer, ungkapan moral merupakan wujud ekspresi perasaan dan sikap pribadi seseorang. Sementara itu, Stevenson menekankan bahwa ungkapan moral tidak lain adalah untuk mempengaruhi perasaan dan sikap orang lain. Ayer menyontohkan, jika seseorang mengatakan bahwa “Mencuri itu perbuatan tidak terpuji”, ia semata-mata sebagai ekspresi perasaan dan sikap pribadi orang itu yang tidak sepakat terhadap tindakan mencuri. Maka jelas bahwa di dalam pemikiran Ayer tidak terdapat usaha untuk mempengaruhi perasaan atau sikap orang lain yang menjadi audience-nya. Karena itu, Stevenson juga mengkritisi pemikiran Ayer. Menurut Stevenson, Ayer gagal menangkap peran signifikan yang dimainkan oleh emotive meaning. Stevenson menambahkan bahwa sekalipun ekspresi-ekspresi etik tidak mengutarakan ilmu pengetahuan tertentu, tetapi ia sangat berpengaruh terhadap keputusan etis yang diambil oleh seseorang. Lihat, MacIntyre, A Short History…, op.cit., hlm. 258; Duncan, Ibid, hlm. 38; dan Denise, Great Tradition…, op.cit., hlm. 290. Kemudian, untuk mengetahui pemikiran Ayer secara agak lengkap, baca pula A.J. Ayer, “Moral Judgments as Emotive”, in James Rachels (ed.), Understanding Moral Philosophy, (California: Dickenson Publishing Company, 1976), hlm. 36-41
[15] Hudson, Modern Moral…, op.cit., hlm. 113-4
[16] Thompson, Ethics…, op.cit., hlm. 32  
[17] Stevenson, “The Emotive…, op.cit., hlm. 45
[18] Teori kepentingan tradisional berpandangan bahwa pertimbangan etis diungkapkan untuk memberikan informasi. Atau lebih tegas lagi, pertimbangan etis diklaim untuk menggambarkan pernyataan moral yang telah, sedang, atau akan diutarakan; atau untuk menunjukkan ungkapan kepentingan apa yang akan muncul dalam situasi dan kondisi tertentu. Stevenson, “The Emotive…, op.cit., hlm. 48
[19] Ibid., hlm. 46-47 dan 56-57
[20] Ibid, hlm. 48-49
[21] Ibid. hlm. 49
[22] Ibid, hlm. 50
[23] Ibid, hlm. 51
[24] Stevenson, “The Emotive…, op.cit., hlm. 52-53  
[25] Mac Intyre, A Short History…, op.cit., hlm. 257. Lihat juga Robert Audi (ed), The Cambridge Dictionary of Philosophy, 2nd Edition, (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), hlm. 260-61. Bandingkan dengan Thomas D. Perry, Moral Reasoning and Truth en Essay Indonesia Philosophy and Jurisprudence, (Oxford: Clarendon Press, 1976), hlm. 75
[26] Ibid., hlm. 56
[27] Ibid, hlm. 57
[28] Ibid, hlm. 58
[29] Ibid, hlm. 58
[30] Ibid, hlm. 59
[31] Ibid, hlm. 58-59
[32] Ibid, hlm. 59
[33] G.J. Warnock, The Errors of Emotivism, dalam James Rachels (ed.), Understanding Moral Philosophy, (California: Dickenson Publishing Company, 1976), hlm. 41-42   
[34] Ibid, hlm. 44
[35] Ibid, hlm. 44-45
[36] Duncan, Moral Philosophy…, op.cit., hlm. 42
[37] Ibid, hlm. 42
[38] Ibid, hlm. 45
[39] Mac Intyre, A Short History…, op.cit., hlm. 259
[40] Ibid, hlm. 259
[41] Hudson, Modern Moral…, op.cit., hlm. 137