"+"
EMOTIVE
THEORY; SEJARAH,
GAGASAN DAN KRITIK
(Studi
terhadap Pemikiran Charles Leslie Stevenson)
A. Pengantar
Nama C.L. Stevenson
barangkali tidak sepopuler Renee Descartes, Immanuel Kant, G.W.F. Hegel,
apalagi Socrates, Plato dan Aristoteles. Ketika mendengar nama Stevenson,
sejenak kita mungkin terdiam dan seraya bertanya, “Who is he?”
Pertanyaan ini akan terjawab manakala kita membuka lembaran demi lembaran
literatur-literatur etika, khususnya yang mengupas tentang emotive theory. Kita
akan sadar bahwa Stevenson ternyata adalah salah satu punggawa teori itu.
Bahkan, ia disebut-sebut sebagai filosof yang menjadikan bangunan emotive
theory semakin establish, setidak-tidaknya hingga saat ini.
Emotive theory Stevenson
berpijak pada sebuah keyakinan bahwa pertimbangan atau ungkapan moral sengaja
diutarakan dalam rangka mempengaruhi atau merubah sikap audience atau
pendengar yang menjadi obyek kalimat itu. Bagi Stevenson, ungkapan moral bukan
sebatas untaian perasaan atau verbalisasi keluh kesah si pembicara. Lebih dari
itu, pembicara memiliki agenda substansial yang diselipkan di sela-sela
rangkaian kalimat moral yang diucapkannya, yaitu untuk merubah perasaan dan
sikap orang lain. Kalimat “This is good”, misalnya, menurut Stevenson
memiliki padanan kata yang kira-kira berbunyi “I like this. Do so as well” (Saya
menyukai ini. Maka, tirulah saya).
Teori ini jelas
berseberangan dengan positivisme logik ala Wittgenstien yang
memposisikan etika sebagai sesuatu yang transenden, dan karenanya
ungkapan-ungkapan etis dianggap tidak bermakna apa-apa, meaningless.
Stevenson juga menarik garis dengan filosof intuisionisme, George Edward
Moore (w. 1958), bukan pada konsep tentang definisi “baik”, melainkan
pada wilayah pertimbangan moral. Moore menyebut dalam sebuah esei yang ditulis
setelah Principia Ethica bahwa
“Moral judgments cannot be reports of
our feelings, for if they were, two men who uttered apparently contradictory
judgments upon a moral issue would not in fact be disagreeing. A man who said,
‘You ought to do X’ would no more be disagreeing with a man who said, ‘You
ought not to do X’ than would someone who said, ‘I stacked my hay yesterday’ be
disagreeing with someone else who said, ‘I didn’t stack my hay yesterday’”.
“Pertimbangan moral tidak bisa menjadi cerminan perasaan moral
kita, sebab jika pertimbangan moral bisa menjadi cerminan perasaan, maka dua
orang yang mengungkapkan pertimbangan (moral) yang tampak berbeda mengenai
masalah moral tertentu, pastinya tidak akan berselisih. Seseorang yang berkata,
‘Anda harus melakukan X’ tidak akan pernah berselisih dengan orang yang
mengatakan, ‘Anda tidak perlu melakukan X’. Kemudian, apakah orang yang
mengatakan, ‘Kemarin, saya telah menumpuk jeramiku’ berselisih dengan orang
yang berkata, ‘Kemarin, saya tidak menumpuk jeramiku’”.
Pandangan Moore di atas
berbeda dengan pandangan Stevenson. Bagi Stevenson, dua orang yang berselisih
mengenai sebuah masalah moral tidak selalu menyangkut semua perselisihan
faktual, mereka hanya berbeda mengenai fakta-fakta dari kasus tertentu saja. Pokok
persoalan di antara mereka memang bisa ditengahi (baca: diselesaikan) melalui
penyelidikan empiris (empirical inquiry), tetapi ada kemungkinan pada
tahap selanjutnya mereka berselisih mengenai sikap mereka. Nah, perselisihan
semacam ini hanya bisa diselesaikan dengan cara salah satu pihak merubah
sikapnya. Karena itu, menurut Stevenson, fungsi utama bahasa atau kalimat moral
adalah untuk mengarahkan kembali sikap-sikap orang lain sehingga mereka sesuai
dengan sikap kita, the primary function of moral words is to redirect the
attitudes of others so that they accord more fully with our own.
Kalimat terakhir pada
paragraf di atas merupakan “inti” dari alur makalah yang ada di hadapan pembaca
yang budiman. Makalah ini mencoba untuk menguraikan gagasan Stevenson mengenai emotive
theory. Sebelum lebih jauh membahas gagasan emotive theory
Stevenson ini, penulis merasa perlu untuk terlebih dahulu menelusuri arkeologi
teori itu sebelum masuk pada fokus perbincangan makalah ini. Selain itu,
tak lupa digambarkan sekilas tentang potret diri Stevenson. Asumsinya,
arkeologi sebuah pemikiran berikut potret diri penulisnya akan membimbing kita
ke arah pemahaman yang lebih baik. Sesuatu yang tidak kalah pentingnya adalah
paparan tentang sejumlah kritik atau bahkan “penghakiman” terhadap pemikiran
filosof Amerika ini.
Penting juga untuk
ditegaskan bahwa diskursus emotive theory Stevenson ini tidak berbicara
moralitas dalam bentuk perilaku, tetapi lebih pada “kalimat-kalimat atau
ungkapan-ungkapan yang mengandung pesan itik”. Dengan kata lain, analisis yang
dipakai dalam hal ini sangat berhubungan erat dengan soal kebahasaan. Harapan
besar penulis adalah, makalah ini dapat memberi secercah informasi atau bahkan
memperdalam wawasan kita tentang emotive theory yang
barangkali—setidak-tidaknya untuk penulis sendiri—masih asing di khazanah
intelektual kita. Jadi, bukan sebatas menunaikan fardu ‘ain dalam
ritualitas Sabtu-an di ruang kuliah Filsafat Etika yang diampu oleh Dr.
Suparman Syukur.
B. Potret
Diri Stevenson
Charles Leslie
Stevenson adalah seorang filosof moral Amerika yang dikenal dengan teori
emotifnya. Ia dilahirkan pada 27 Juni 1908 di Cincinnati, Ohio. Dia
menyelesaikan pendidikan Sarjana Muda (B.A.) di Harvard (1930), kemudian
melanjutkan ke Cambridge University dan kembali lagi ke Harvard. Dia
mendapatkan gelar Ph.D (1935) di universitas tersebut. Stevenson menjadi
asisten dosen di Harvard sejak tahun 1934 hingga menjadi dosen di universitas
yang sama tahun 1937. Pada tahun 1939, Stevenson menjadi asisten profesor di
Yale, dan 1946 dia menjadi profesor luar biasa di bidang filsafat di University
of Michigan. Akhirnya, Stevenson resmi dikukuhkan sebagai profesor di
Universitas Michigan pada tahun 1948,
dengan emotive theory sebagai spesialisasi pemikirannya.
Pemikiran
Stevenson tentang emotive theory tentu saja tidak terbentuk dengan
sendirinya. Ia juga dipengaruhi oleh filosof-filosof pendahulunya, khususnya
C.K. Ogden dan I.A. Richard yang disebut-sebut sebagai ‘sesepuh’ teori ini.
Pengaruh kedua filosof itu tampak dalam definisi “emotive” yang diajukan
Stevenson. Dia secara jujur mengakui bahwa definisi yang dikemukakannya merujuk
kepada dua filosof tersebut.
Karya-karya
Stevenson, baik berbentuk buku maupun artikel yang tersebar di beberapa jurnal,
sudah beredar si banyak negara. Adapun karyanya yang berbentuk buku antara
lain: Ethics and Language (1944), Facts and Values: Studies in
Ethical Language (1963); sedangkan yang berbentuk Jurnal: The Emotive
Meaning of Ethical Terms (1937), The Nature of Ethical Disagreement (1948),
Meaning: Descriptive and Emotive (1948), The Emotive Conception of
Ethics and Its Cognitive Implications (1950). Stevenson kembali ke haribaan
Tuhan pada tahun 1979, entah tanggal berapa dan di mana.
C. Pengertian
dan Sejarah Emotive Theory
Pembahasan pengertian dan
sejarah emotive theory adalah sangat penting. Pengertian yang jelas akan
memudahkan untuk memahami dan memosisikan emotive theory di antara
aliran-aliran filsafat etika lainnya. Kemudian, melalui uraian sejarah emotive
theory, kita dapat mengetahui latar belakang dan dinamika teori ini. Tidak
ada satu konsep atau aliran pun yang muncul di ruang hampa. Ia tentu saja
merupakan anak zaman yang dilahirkan di dalam atmosfer aliran-aliran filsafat,
baik sebagai penolakan atau dukungan atas aliran-aliran filsafat sebelumnya,
atau bahkan sebagai gagasan yang kemudian menjadi sebuah aliran yang sama
sekali berbeda dengan aliran-aliran filsafat yang lain.
1. Pengertian Emotive Theory
Stevenson, dalam buku Ethics
and Language, memberi batasan bahwa “Emotive meaning of a word is
the tendency of a word, arising through the history of its usage, to produce
affective responses in people.” Makna emotif dari
suatu kata atau kalimat adalah adanya kecenderungan dari kata atau kalimat itu,
yang muncul di sepanjang penggunaannya, untuk memunculkan pengaruh terhadap
orang lain.
Stevenson juga mengajukan
definisi yang lebih luas dari dari definisi di atas. Dia menulis,
“Emotive meaning of a word or phrase is a strong and
persistent tendency to give direct expression (quasi-interjectionally) to
certain of the speaker’s feelings or emotions or attitudes; and it also a
tendency to evoke (quasi-imperatively) corresponding feelings, emotions, or
attitudes in those to whom the speaker’s remark are addressed. It is the
emotive meaning of a word, accordingly, that let us to characterize it as laudatory
or derogatory—that rather generic characterization being of
particular importance when we are dealing with terms like ‘good’ and ‘bad’ or
‘right’ and ‘wrong’. But emotive meaning are of great variety: they may yield
term that express or evoke horror, amazement, sadness, sympathy, and so on.”
Mencermati definisi emotive
theory tampak bahwa teori ini termasuk dalam rumpun etika metafisik (metaphysical
ethics) yang merupakan lawan dari etika naturalistik. Etika naturalistik
berusaha untuk menjelaskan serangkaian pernyataan-pernyataan moral dari
fakta-fakta kehidupan manusia. Moore menganggap pandangan naturalist ini
sebagai kekeliruan naturalitik (naturalistic fallacy), sebab ia berupaya
untuk memperoleh sebuah “keharusan (ought)” dari suatu “kenyataan (is)”.
Berlawanan dengan etika
naturalistic, menurut Mel Thomson, etika metafisik menekankan bahwa moralitas
harus dinilai di dalam dirinya sendiri, dan ia (moralitas) harus dihubungkan
dengan harus dihubungkan dengan pemahaman kita terhadap dunia dan posisi kita
di dalamnya (morality should be valued in itself, and should be related to
our understanding of the world and our place within it). Hal ini menegaskan
bahwa pilihan-pilihan moral (moral choices) berhubungan dengan pemahaman
kita secara umum terhadap kehidupan dan nilai-nilai yang kita temukan di
dalamnya: dengan kata lain berhubungan dengan “metafisik” kita.
Sekarang menjadi jelas
bahwa ketika kita menggunakan bahasa moral (moral language), kita
mungkin sedang melakukan sebuah kombinasi atas beberapa atau semua metafisik
kita (pemahaman terhadap kehidupan dan nilai-nilainya). Kita barangkali
berbicara mengenai sesuatu yang dipandang baik tanpa mengetahui bagaimana cara
mendefinisikan apa yang kita maksud dengan kata tersebut; kita bisa jadi
membicarakannya karena kita ingin mengekspresikan emosi-emosi kita; kita
barangkali ingin merekomendasikan perbuatan tertentu; atau kita mungkin merasa
yakin bahwa terdapat dasar-dasar obyektif untuk menyatakan bahwa sesuatu itu
benar atau salah. Karenanya, masih menurut Thomson, “It is important to be
aware of these meta-ethical theories so that we recognize the basis upon which
we are using moral language—and save a great deal of misunderstanding and arguing
at cross purposes.”
2. Sejarah Emotive Theory
Guna memahami asal mula
munculnya emotive theory, seyogyanya kita berselancar ke dunia masa
lampau di awal abad 20 M di Vena—ada yang menulis dengan Vienna—ketika sejumlah
ilmuwan, dengan perhatian yang cukup besar terhadap filsafat, mengembangkan
sebuah teori filsafat yang lazim disebut Positivisme Logik (Logical
Positivism). Aliran ini mengklasifikasikan suatu teori yang berpijak di
atas Kaidah Verifikasi (Verification Principle). Teori ini
mengelompokkan suatu ungkapan menjadi tiga rumpun: pertama, ungkapan
analitik (analytical statement) seperti logika dan matematika; kedua,
ungkapan empiris (empirical statement) yang mengekspresikan
fakta-fakta yang dapat diobservasi (observable facts); dan ketiga, ungkapan
abstrak (nonsensical statement atau metaphysical statement atau pseudo-statement),
yang tidak mengekspresikan fakta apapun dan karenanya tidak memiliki arti
literal apapun.
Secara berturut-turut bisa
diamati dari contoh berikut. “Semua roda adalah bulat” atau “4 x 4 =
15”. Pada dua contoh ini dengan
jelas bisa diketahui mana yang benar dan mana yang salah dengan cara
memperhatikan literal meaning dari keduanya. Demikian halnya dengan
ungkapan “beberapa logam kalau dipanaskan akan memuai”. Ungkapan ini juga bisa
ditetapkan benar atau salah. Caranya dengan mengobservasi atau melakukan
eksperimen-tasi terhadap sejumlah logam. Akan tetapi, kita tidak bisa membuat
keputusan mutlak pada ungkapan berikut: “Penyakit disebabkan oleh hadirnya makhluk
halus (baca: Setan cs.) di dalam jiwa manusia”. Ungkapan ini termasuk dalam
kategori metaphysical atau nonsensical statement. Artinya,
ungkapan itu tidak bisa ditangkap hanya melalui literal meaning-nya
saja. Bagi kaum emotivist, ungkapan semacam itu diyakini memiliki makna
emotive, emotive meaning.
Jadi, ungkapan-ungkapan
seperti masalah teologi dan moral tidak termasuk dalam kategori sensual atau
analytical statements, sebab mustahil seseorang mampu meneliti hal-hal
yang berhubungan dengan teologi dan moral. Ketika kita menggunakan bahasa moral
(moral language), dan ketika kita memutuskan suatu pertimbangan
moral, menurut teori emotif, secara literal kita tidak mengatakan apapun, kita
hanya memperlihatkan perasaan-perasaan tertentu atau mengekspresikan
emosi-emosi tertentu tentang kesesuaian atau ketidaksesuaian, approval or
disapproval.
Jelas saja kalangan
positivist memvonis bahwa moral language atau moral statement tidaklah
ilmiah, sebab ia tidak bisa diverifikasi dan tidak juga diobservasi sesuai
norma-norma ilmiah. Inilah yang menurut emotivist, seperti Stevenson dkk,
merupakan kegagalan para positivist di dalam mencandra makna emotif yang ada
dalam setiap perilaku manusia. Dengan bahasa lain, emotivisme merupakan reaksi
terhadap pandangan positivisme yang memiliki kontribusi luar biasa terhadap
dinamika sains dan teknologi.
Penting untuk ditegaskan
bahwa Stevenson bukanlah satu-satunya filosof teori emotif. Ada banyak filosof
yang juga merupakan bagian dari perkembangan teori ini, bahkan sebelum
Stevenson sekalipun. Menurut J.O Urmson dalam bukunya The Emotive Theory of
Ethics (London, 1968), teori ini telah diperkenalkan oleh para filosof yang
berbahasa Inggris, di antaranya adalah I.A. Richard dan C.L. Ogden dalam karya
mereka The Meaning of Meaning (London, 1923). Bahkan, filosof Swedia, A.
Hagerstrom (w. 1939) juga telah mengembangkan teori ini. Sayangnya, kata Urmson,
karya-karya Hagerstrom tidak bisa dilacak. Nama-nama lain yang juga bisa
disebut di sini adalah W.H.F. Barnes, C.D. Broad, A.S. Duncan-Jones, Susan
Stebbing, Karl Britton, Alfred J. Ayer
(yang seusia dengan Stevenson). Kebetulan, tutur Urmson, di Stevenson-lah teori
ini menampakkan wujudnya secara lebih baik,
sehingga ketika memperbincangkan teori emotif, nama Stevenson menjadi rujukan
utamanya, termasuk dalam makalah ini.
D. What
is “good”?
Pada pertemuan sebelumnya,
Muhammad Umar telah membahas pemikiran G.E. Moore tentang teori
intuisionisme. Salah satu pemikiran Moore adalah bahwa kebaikan tidak akan
pernah bisa didefinisikan, sebab ia tidak memiliki padanan apapun. “Jika anda”,
kata Moore, “mencoba untuk mengatakan ‘sesuatu adalah baik jika …’, maka anda
tidak akan menemukan sebuah definisi yang tanpa membatasi dan mereduksi arti
kebaikan itu, dan karenanya ia tidak bisa diterapkan terhadap benda lain”.
Sementara itu, menurut
Stevenson, kata “baik” sering didefinisikan ke dalam term “persetujuan” (approval),
atau sikap-sikap psikologis serupa. Kita barangkali mengambil contoh:
“baik” berarti “diingini saya”, desired by me (Hobbes); atau “baik”
bermakna “disetujui oleh mayoritas”, approved by most people (Hume).
Stevenson menyebut dua definisi ini dengan teori kepentingan, “interest
theories”.
Stevenson mengklaim bahwa
banyak kalangan yang menyatakan kalau interest theories masih jauh dari
sempurna. Mereka menilai teori-teori itu telah mengesampingkan hakikat “baik” yang
menjadi cirikhas etika. Sudah barang tentu mereka memiliki argumen yang kuat,
alias tidak “asal bunyi” (asbun). Menurutnya, ketika muncul pertanyaan
“apa cirikhas dari ‘baik’”, maka jawabannya pasti remang-remang dan penuh
dengan kesulitan-kesulitan sehingga kita praktis tidak bisa menangkapnya. Meski
begitu, ada syarat-syarat tertentu dengan mana cirikhas “baik” menjadi lebih
sempurna.
Pertama, kita harus
mampu secara arif untuk tidak sepakat mengenai suatu hal, “baik” atau
“buruk”. Kondisi semacam ini tentu mengeliminasi definisi Hobes. Hobes
mengartikan ungkapan “Ini bagus” dan “Itu jelek” dengan “Saya menginginkan ini”
dan (karenanya) “Saya tidak menginginkan itu”. Menurut Stevenson, pembicara
tersebut tidak bertentangan dengan yang lain. Pembicara hanya memikirkan
dirinya sendiri. Ini dapat dilihat dari ambiguitas mendasar dari penggunaan
kata gantinya (pronoun), yaitu “saya”. Karena itu, definisi yang
menyatakan bahwa “baik” berarti “diinginkan oleh komunitas saya” (desired by
my community) juga harus dihilangkan. Bagaimana mungkin komunitas eksternal
bisa menolak, kalau ungkapan tersebut hanya untuk komunitas internal saja.
Kedua, “kebaikan”
pasti memiliki “magnetism” (daya tarik) atau koneksi antara kebaikan dan
perbuatan. Seseorang yang mengakui bahwa X adalah sesuatu yang “baik” tentunya
lebih condong untuk berbuat dalam konteks kebaikan X daripada sekedar
menyetujuinya. Hal ini jelas mengeliminasi definisi Hume, sebab “mengakui bahwa sesuatu adalah baik, berarti
mengakui bahwa mayoritas menyetujuinya.” Faktanya, seseorang mungkin memandang
bahwa mayoritas menyepakati tentang X tanpa memiliki dorongan kuat untuk
menunaikannya. Persyaratan ini menutup setiap usaha untuk mendefinisikan “baik”
dalam term kepentingan mayoritas daripada pembicara sendiri.
Ketiga, “kebaikan”
segala sesuatu tidak mesti bisa diverifikasi dengan menggunakan metode ilmiah (scientific
method). “Etika belum tentu psikologi”. Batasan ini pada gilirannya
mengeliminasi seluruh teori kepentingan tradisional (the traditional interest
theories) tanpa terkecuali.
Ia juga memusnahkan sebuah batasan bahwa kita harus mempertimbangkan
rasionalitasnya.
Stevenson dengan tegas
menolak teori kepentingan tradisional ini. Menurutnya, teori itu masih belum
utuh. Ia hanya mendeskripsikan atau menggambarkan tentang suatu pertimbangan
etis (ethical judgments). Padahal, tujuan utama dari pertimbangan etis
adalah untuk menciptakan pengaruh terhadap orang lain, bukan hanya
menggambarkan atau mendeskripsikannya. Misalnya, ketika anda berkata kepada
seseorang bahwa mencuri adalah perbuatan tidak terpuji, anda tidak sebatas
menginformasikan kepadanya bahwa masyarakat menolak tindakan mencuri, tetapi
anda sedang mempengaruhinya agar ia juga sepakat bahwa mencuri itu perbuatan
tidak terpuji. Jika ternyata anda gagal mempengaruhinya, maka anda akan
mengemukakan alasan-alasan tertentu untuk mendukung penilaian etis anda,
misalnya dengan menjelaskan konsekuensi-konsekuensi dari perbuatan tersebut.
Menurut Stevenson, perbedaan teori kepentingan tradisional dengan teori dirinya
adalah seperti “perbedaan antara menggambarkan padang pasir dengan mengairinya”.
Contoh lain: Presiden
Amerika Serikat George Walker Bush menggonggong, “terrorism is dangerous”.
Jika dia hanya bermaksud bahwa dia tidak setuju terhadap terorisme, atau hendak
menyatakan bahwa kebanyakan orang menolak terorisme, maka pandangan Bush sama
sekali tidak menarik. Bush tidak bermaksud demikian. Dia tidak menggambarkan
ungkapan ketidaksetujuan masyarakat terhadap terorisme. Apa yang dilakukannya
adalah mempengaruhi pandangan masyarakat agar mengamini pandangannya bahwa terorisme
merupakan ancaman serius terhadap kedamaian manusia. Stevenson melihat kasus
semacam ini sebagai bukti “bahwa ungkapan etik mungkin dimanfaatkan untuk
tujuan jahat.”
E. Standar
Ganda Bahasa
Pada umumnya, kita
menggunakan bahasa untuk dua kepentingan. Pertama, bahasa (sebagaimana
di dalam sains) digunakan untuk merekam, mengklarifikasi atau mengkomunikasikan
“keyakinan-keyakinan tertentu”. Kedua, bahasa digunakan untuk memberikan
ruang bagi perasaan (seperti Oh!, Subhanallah!, Aduuuuuh!) atau
untuk mengekspresikan suasana hati (seperti puisi), atau untuk mempengaruhi
orang lain untuk bersikap atau berbuat sesuatu (seperti orator). Stevenson
menyebut yang pertama dengan “deskriptif”, dan yang kedua, “dinamis”. Perlu
dicatat bahwa perbendaan antara keduanya sangat tergantung kepada tujuan si
pembicara.
Ketika marjuki berkata, “Al-Qur’an al-Karim adalah wahyu Allah swt”, tujuannya barangkali
sederhana, yakni mengkomunikasikan bahwa dirinya meyakini hal itu. Sebuah kalimat,
dalam konteks ini, digunakan secara deskriptif. Akan tetapi, ketika melihat
ciptaan Tuhan yang paling indah nan menawan, seraya bergumam, “Subhanallah”,
maka Zainal bukan lagi untuk merekam, mengklarifikasi, atau
mengkomunikasikan keyakinan apapun. Kata tersebut, dalam kategori Stevenson,
digunakan secara dinamis.
Stevenson menggarisbawahi
bahwa dua penggunaan bahasa itu cenderung eksklusif. Ini mengingat pada
kenyataannya tujuan manusia seringkali begitu kompleks, sehingga ketika ada
seseorang berkata, “I want to close the door”, di satu sisi dia
bertujuan untuk mengarahkan si pendengar bahwa dirinya (si pembicara) mempunyai
keinginan untuk menutup pintu, tetapi di
sisi lain, tujuan utama orang tersebut adalah mengarahkan si pendengar untuk
“memenuhi” keinginannya. Kalimat yang pertama digunakan secara deskriptif,
sedangkan kalimat yang kedua digunakan secara dinamis.
Ada pula bahasa yang
sepintas digunakan secara dinamis, tetapi pada saat yang sama ternyata bisa
gunakan secara deskriptif. Misalnya, seorang mahasiswa pascasarjana di
Universitas Islam Suparman Syukur (UISS) berkata, “Hai Coy, saya
mendapat tugas Filsafat Etika yang amat sangat sulit”. Tujuannya barangkali
untuk menginformasikan kepada teman-temannya apa yang sedang dia alami. Kalimat
itu tentunya bukan kalimat “dinamis”, tetapi deskriptif. Meski bagitu, ia bisa
menjadi kalimat dinamis dan sekaligus deskriptif apabila yang bersangkutan
bermaksud untuk memperoleh simpati dari teman-temannya.
Melalui uraian di atas
dapat disederhanakan bahwa kalimat deskriptif adalah kalimat yang memiliki arti
literal (literal meaning). Artinya, makna suatu kalimat cukup dilihat
dari susunan gramatikalnya, atau secara kasat mata saja. Sementara itu, kalimat
dinamis adalah kalimat yang memiliki makna emotif (emotive meaning), yaitu kalimat
yang digunakan untuk mempengaruhi sikap pendengar.
F. Emotive
Theory ala Stevenson
Hal yang paling mendasar
dari teori emotif Stevenson terletak pada fungsi bahasa atau kalimat moral.
Fungsi utama bahasa atau kalimat moral, menurut Stevenson, adalah untuk mengarahkan
kembali sikap-sikap orang lain sehingga mereka sesuai dengan sikap kita, the
primary function of moral words is to redirect the attitudes of others
so that they accord more fully with our own.
Istilah mengarahkan
kembali berkonotasi bahwa terdapat perselisihan
(disagreement) antara
kita dan pendengar. Stevenson sendiri membedakan
disagreement menjadi
dua macam: (1)
disagreement in belief (perselisihan keyakinan)
, dan
(2)
disagreement in interest (perselisihan kepentingan). Perselisihan
keyakinan terjadi ketika A meyakini X, dan B tidak meyakininya. Perselisihan
kepentingan muncul ketika A berkepentingan terhadap X, sementara B tidak.
Mari kita perhatikan
contoh yang jamak kita alami dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan
keluarga, asrama/kos-kosan, dan semacamnya.
A: “Ayo kita nonton sepak bola.”
B: “Tidak, saya tidak
suka sepak bola. Kita nonton ‘Dunia Tampa Koma (DTK)’ saja.”
A: “Tidak, kita harus
nonton sepak bola.”
B: “Bodoh ah, pokoknya
kita harus nonton DTK.”
Perdebatan itu terus berlangsung. Kedua belah
pihak tidak ada yang mau mengalah. Keduanya sama-sama bersikeras agar
keinginannya terpenuhi, dan mereka sama-sama berusaha untuk redirect kepentingan
“lawannya”.
A barangkali berdalih
bahwa pertandingan sepak bola kali ini sangat menarik. Ini pertandingan final World
Cup 2006, di mana yang bertanding adalah Italia vs Perancis.
Karenanya, sangat disayangkan apabila pertandingan ini dilewatkan. Ini hanya
terjadi selama empat tahun sekali, serta argumentasi-argumentasi lainnya.
Ternyata B tidak mau kalah. Menurutnya, episode kali ini sangat seru. Kita akan
disuguhi tontonan yang mengesankan. Di tengah kesibukan dalam dunia jurnalistik,
Aktor X ternyata diterpa virus cinta lokasi dengan Aktris Y. Padahal Y sejak
lama sudah “dilirik” oleh The Big Boss perusahaan itu. Karena itu, jika
kita melewatkan episode ini, kita akan kehilangan jejak alur ceritanya, dan
alasan-alasan yang lain.
Bagi Stevenson, di situ
tidak dikenal yang namanya dominasi, sebab mereka sama-sama mengeluarkan
jurus-jurus mautnya untuk mempengaruhi satu sama lain. Ini yang menjadi
argumentasi Stevenson bahwa teori kepentingan tradisional cukup lalai dalam
menangkap makna
emotive meaning ini. Bagi teori tradisional,
pertimbangan moral hanya digunakan secara deskriptif, dan karenanya tidak
memiliki makna emotif. Kalaupun ada perselisihan, tambah Stevenson,
perselisihan tersebut hanya pada wilayah keyakinan. Ini jelas berbeda dengan
perselisihan dalam konteks kepentingan.
Kita amati contoh yang
lain. Terdapat percakapan antara dua mahasiswa di sebuah toko buku, sebut saja
Gramedia. Taruhlah antara A (mahasiswa S1 Walisongo) dan B (mahasiswa S2 dari
PT yang sama), mengomentari sebuah buku yang berjudul ‘FILSAFAT ETIKA
SEPANJANG MASA’ yang masih dibungkus plastik.
A: “Wah, ini buku bagus”.
B: “Ah tidak juga. Itu
buku jelek”.
A: “Lho, ko’….”
B. “Iya, karena buku itu
adalah kumpulan tulisan para mahasiswa dari PTS “kampungan” di tetangga sebelah
itu”.
A: “Ooo….” (tanda setuju
dengan si B)
Dialog di atas menunjukkan
adanya perubahan sikap pada diri A yang semula memandang buku itu bagus menjadi
seperti apa yang disampaikan oleh temannya. B dalam hal ini mengemukakan
alasan-alasan empiris, mengingat dia sudah membaca buku itu sampai “TAMAT”,
sehingga ia tahu persis isi dan kualitasnya. Akhirnya, B berhasil merubah sikap
A dengan fakta-fakta empiris.
Ini sesuai dengan
generalisasi Stevenson bahwa, “perselisihan kepentingan seringkali berakhir
ketika mereka mengetahui secara pasti hakikat dan konsekuensi-konsekuensi
mengenai obyek yang mereka perselisihkan. Artinya, perselisihan kepentingan
bisa jadi diselesaikan melalui kesepakatan tentang keyakinan, yang barangkali
diperoleh secara empiris”.
Pertanyaan yang barangkali
bisa diketengahkan dalam perbincangan
emotive theory Stevenson adalah
apakah semua kesepakatan etis
(ethical agreement) bisa dicapai melalui
pendekatan empiris? “Jelas tidak”, tegas Ste-venson. Alasannya, pengetahuan
empiris hanya menyelesaikan perselisihan kepen-tingan yang berakar dari
perselisihan keyakinan, seperti contoh di atas. “Tidak semua perselisihan sama
dengan kasus tersebut”, tambahnya.
Misalnya, A adalah orang yang dermawan
(apalagi di bulan Ramadhan seperti sekarang), sedangkan B adalah termasuk orang
yang pelit bin
bakhil. Mereka berdebat mengenai kebaikan dari
shodaqoh.
Anggap saja mereka sepakat mengenai manfaat dari
shodaqoh itu. Tetapi
tidak menutup kemungkinan bahwa A akan mengatakan bahwa
shodaqoh itu
baik, sementara B tetap bersikukuh pada pendiriannya dengan mengatakan
shodaqoh
itu jelek. Perselisihan kepentingan di sini ternyata tidak muncul dari
keterbatasan pengetahuan (seperti pada contoh sebelumnya), tetapi semata-mata
karena A adalah sosok budiman, sedangkan B adalah potret
bakhil sejati.
Barangkali masih
memunculkan pertanyaan lain dari uraian di atas, bagaimana jika perselisihan
itu ternyata tidak muncul dari perselisihan keyakinan, adakah metode rasional
atau empiris yang bisa dibangun?
Jika mengacu pada
pandangan Stevenson sebelumnya, maka jawabannya jelas “tidak ada”, sebab
Stevenson dengan tegas memberi rambu-rambu bahwa pendekatan empiris atau
rasional bisa saja digunakan dengan catatan perselisihan itu berakar dari
perselisihan keyakinan, bukan dari lainnya. Padahal, di sini yang menjadi
persoalan adalah perselisihan yang berakar dari selain keyakinan.
Tunggu dulu. Jangan kecewa
dan jangan sedih. Stevenson telah menyiapkan jalan keluarnya. Menurutnya, dalam
kasus semacam itu, pendekatan yang dipakai memang bukan pendekatan rasional
atau empiris, akan tetapi pendekatan persuasif. Stevenson menulis,
“The point I wish to stress is simply that the empirical
method is instrumental to ethical agreement only to the extent that
disagreement in interest is rooted in belief. There is little reason to believe
that all disagreement is of this sort. Hence the empirical method is not
sufficient for ethics. In any case, ethics is not psychology, since psychology
does not endeavor to direct
our interests; it discovers facts about the
ways in which interests are or can be directed, but that is another matter.”
“Poin penting yang ingin saya tekankan di sini cukup
sederhana, yaitu metode empiris bisa menjadi alat bagi pertimbangan etik dengan
catatan perselisihan kepentingan yang terjadi berakar dari perselisihan
keyakinan. Kecil sekali alasan untuk mempercayai bahwa semua perselisihan
persis sama seperti ini. Karena itu, pendekatan empiris tidak akan mampu meng-cover
semua masalah etika. Dalam banyak hal, etika bukanlah psikologi, sebab
psikologi tidak berupaya untuk mengarahkan kepentingan kita. Ia mengungkap
fakta-fakta tentang banyak hal di mana kepentingan kita diarahkan atau bisa
diarahkan. Akan tetapi, ini soal lain.”
Perhatikan lagi contoh
perselisihan antara A (si pemurah) dengan B (si
bakhil) di atas. Mungkinkah
di akhir perdebatan mereka muncul ungkapan, “Ok lah, ini hanya masalah
perbedaan temperamen antara kita berdua”? jawabannya, belum tentu. Menurut
Stevenson, ada kemungkinan A terus berusaha untuk
merubah temperamen
lawan bicaranya, B. A barangkali mencurahkan antusiasme dirinya agar mampu
merubah pendirian B dengan cara mengajaknya untuk melihat kehidupan masyarakat
lemah,
mustadl’afîn, fuqarâ’ aw masâkîn, dari sudut yang berbeda. A bisa
jadi mentransmisikan perasaannya dengan merubah temperamen B dan sukses
memunculkan rasa simpati dalam diri B yang sebelumnya tidak (pernah) ada.
Apa yang dilakukan oleh A
jelas-jelas bukan pendekatan empiris ataupun rasional, melainkan pendekatan
persuasif. Ini bisa dilalaui manakala tidak ada cara lain untuk merubah sikap
orang lain. Pendekatan persuasif tentu sudah masuk pada wilayah psikologi.
Psikologi sendiri tidak berusaha untuk mengarahkan sikap kita. Ia mengungkap
fakta-fakta tentang banyak hal di mana sikap kita diarahkan atau bisa diarahkan.
Tetapi, menurut Stevenson, ini persoalan lain di luar fokus perbincangan
tentang
emotive theory.
G. Kritik
Terhadap Emotive Theory
No one is perfect.
Sebuah ungkapan klasik yang sering kita dengar dalam banyak kesempatan. Ini juga
terjadi dalam dunia pemikiran, tak terkecuali dalam filsafat. Seperti telah
diurai sebelumnya, kehadiran emotive theory, khususnya Stevenson, tidak
lain sebagai respons atau kritik terhadap positivisme logik dan intuisionisme.
Kini, giliran emotive theory yang menuai ‘protes’ dari sejumlah pemikir
lain. Ini wajar, bukan.
Bangunan emotive theory
ternyata tidak sekokoh yang dibayangkan. Masih tampak celah menganga
sejumlah sudut teorinya yang memungkinkan para pemikir untuk mengkritisi—untuk
tidak mengatakan membantai—teori tersebut, yang pada gilirannya akan melahirkan
dialektika gagasan. Dialektika gagasan semacam ini sejak dahulu kala sudah dan
akan terus berlangsung. Entah hingga kapan. Pastinya, ia menjadi salah satu
garansi dinamika wacana keilmuan di dalam atmosfir intelektual yang terus
berubah.
Grand design pemikiran
Stevenson memposisikan “pernyataan etik sebagai instrumen untuk mempengaruhi
sikap orang lain. Lantas bagaimana dengan iklan, poster, layanan komersial
televisi, statemen-stetemen politik, dan semacamnya? Semua itu juga digunakan
untuk mempengaruhi sikap orang lain. Bisakah ungkapan-ungkapan tersebut
dikategorikan ke dalam emotive theory, sebagaimana pandangan Stevenson?
Bagi G.J. Warnock, ini
merupakan awal kelemahan emotive theory. Menurutnya, emotive theory terlalu
general, atau barangkali lupa untuk memberi batasan-batasan mana yang memiliki emotive
meaning dan mana yang tidak.
Masih menurut Warnock,
dimensi lain yang menggambarkan kekurangan, atau bahkan kesalahan besar, dari emotive
theory adalah ambiguitas antara definisi attitude (sikap) dan feeling
(perasaan). Ada kecenderungan bahwa emotive theory mengidentifikasi attitude
dengan feeling. Ini bukan hanya salah, tetapi benar-benar salah (this
was not merely wrong; it was disastrously wrong).
Vonis Warnock barangkali
bisa dijelentrehkan melalui contoh berikut. Anggap saja si Polan tidak menyukai
perilaku temannya, sebut saja Mr. Bush, yang menjijikkan. Ketidaksukaan si
Polan terhadap perilaku Bush itu merupakan ekspresi perbedaan feeling dari
keduanya. Dan ketika si Polan mencoba untuk merubah perilaku Bush, maka dia
telah masuk ke dalam emosi Bush. Nah, ketika si Polan menggunakan feeling-nya
di dalam diri Bush, masih bisakah dikatakan bahwa si Polan menggunakan emotive
language. Jawabannya, menurut Warnock, “jelas TIDAK, sebab perubahan diri
Bush tidak diperoleh melalui argumentasi, melainkan psikologi; bukan
rasionalisasi, tetapi manipulasi.”
Pada point sebelumnya ada
contoh seperti ini: “Ini bagus”. Bagi Stevenson, kalimat ini berarti, “Saya
menyukainya; Anda seharusnya demikian”. Menurutnya, kalimat itu memiliki emotive
meaning yang dugunakan untuk mempengaruhi atau merubah sikap orang lain
agar sesuai dengan sikap kita.
A.R.C. Duncan, dalam
bukunya Moral Philosophy, menganggap alur pikir Stevenson itu tidak saja
ada kekaburan mengenai perbedaan antara arti (meaning) dan kebenaran (truth),
tetapi juga kekacauan dua makna bahasa yang berbeda. Misalnya, kata Duncan,
ketika istri saya sedang sibuk mempersiapkan hidangan pesta makan malam, tiba-tiba
saya berseloroh, “Yank, saya tidak menyukai Mr. X”. Dia barangkali
menafsirkannya tidak saja bahwa saya benci Mr. X, tetapi juga saya
tidak ingin mengundang Mr. X dalam pesta itu. Dia barangkali menjawab,
“Maksudmu, kamu tidak suka kalau saya mengundangnya”. Dia menggunakan kata
“maksud” yang menunjukkan bahwa ada “tanda-tanda” tertentu di dalam pernyataan
saya tadi.
Apa yang dikatakan istri
Duncan tadi sama dengan kehidupan kita. “TV-nya hidup”, berarti “orangnya ada
di rumah”. Kalimat pertama di satu sisi memiliki arti sesuai dengan gramatikal
kalimat itu sendiri, sementara di sisi lain hidupnya televisi itu menjadi tanda
bahwa sang pemilik rumah ada di dalam”. Bagi Stevenson, emotive meaning
tidak diperoleh dari susunan gramatikal bahasa, melainkan dari makna di balik
kalimat itu sendiri. Akan tetapi, pada kasus di atas, suatu kalimat ternyata
memiliki makna emotive pada susunan pertamanya. Karena itu, “What the
emotive theory fails to do is to show convincingly that it does not have
meaning in the first or literal sense”, ujar Duncan.
Duncan melanjutkan
kritiknya terhadap emotive theory, seperti terlihat dalam tulisan
berikut:
“If we were to say to someone, “You
ought to keep that promise to Zainal Abidin”, he might ask what I meant by
saying he ought to. If I than replied “I am really telling you to keep it”, the
only appropriate response would be for him to say “Who do you thing you are to
give me orders” and to that I can see no reply that I can give—except to say
that I wasn’t ordering him at all, just trying out an ethical theory in which I
don’t really believe.”
“Seandainya kita berkata kepada seseorang,
“Seharusnya anda menepati janji kepada saudara Zainal Abidin”, dia barangkali
langsung bertanya apa maksud saya ko’ bilang ia harus tepat janji. Jika
kemudian saya menjawab, “Saya sungguh berkata kepada anda agar anda menepati
janji”. Maka, respons yang paling mungkin terjadi dari orang itu adalah, “Anda
pikir diri anda siapa, ko’ (seenaknya) menasehati saya”. Dalam posisi
demikian saya pasti “kelepotan” dan tidak ada sepatah kata pun untuk
menanggapinya—kecuali bergumam bahwa saya tidak menyuruhnya sama sekali, alias
gagal. Saya hanya mencoba untuk mempraktekkan sebuah konsep teori etika (emotive
theory) yang sebenarnya masih belum benar-benar saya yakini.”
Duncan sebetulnya hendak
menegaskan bahwa emotive theory tidak jauh berbeda dengan perintah, command.
Masalah yang besar menurutnya adalah ketika orang yang ingin kita pengaruhi
ternyata mempertanyakan posisi atau hak kita pada saat berusaha mempengaruhi
orang lain. Ketika berada dalam keadaan seperti itu, menurut Duncan, kita tidak
bisa berbuat apa. Bahkan, dengan bahasa sindiran, Duncan meragukan bangunan
pemikiran emotive theory.
Apa yang disampaikan
Duncan sesungguhnya absah-absah saja. Tapi, dalam hemat penulis, Duncan
ternyata juga kurang utuh dalam mencandra emotive theory. Contoh yang
dikemukakannya sangat tidak pas, sekedar tidak mengatakan salah. Pasalnya,
ungkapan atau pertimbangan etik Stevenson tidak menggunakan kalimat perintah (imperative
statement). Artinya, usaha untuk mempengaruhi atau merubah sikap orang lain
yang menjadi lawan bicara kita tidak tampak dalam kalimat yang diutarakan.
Misalnya kita berkata,
“Buku ini bagus”, dengan artian “Saya suka buku itu, dan karenanya orang lain
seharusnya juga menyukainya”. Pada kalimat “Buku ini bagus” sama sekali tidak
tampak sebuah kalimat perintah. Kalimat itu hanyalah kalimat naratif, yang di
dalamnya tersirat emotive meaning sebagaimana dikehendaki oleh si
penutur (speaker). Ini jelas berbeda dengan contoh Duncan di atas, di
mana dengan jelas mengandung unsur perintah.
Coba perhatikan sekali
lagi kalimat Duncan tadi, “Anda seharusnya menepati janji kepada Zainal
Abidin”. Sejak diutarakan kalimat itu sudah mengandung perintah. Terang saja
orang yang diajak bicara seraya menimpali, “Memangnya anda siapa, ko’
berani-beraninya menasehati saya”. Secara psikologis, balasan seperti ini
wajar-wajar saja, sebab pribadi seseorang cenderung sulit menerima nasehat
orang lain, sekalipun dia sadar sesadar-sadarnya bahwa nasehat itu benar
adanya.
Ada kritikus lain yang
lebih tajam ketimbang “vonis” Duncan di atas, yaitu Alasdair Mac Intyre, dalam
bukunya A Short History of Ethics. Mac Intyre mencatat bahwa ada
kekurangjelasan dari apa yang disebut emotive meaning. Bagi Mac intyre,
situasi dan kondisi (seperti keinginan, kepentingan, kebutuhan, dan lain-lain)
sangat berpengaruh terhadap seberapa kuat pengaruh dari pertimbangan atau
kalimat etik. Bisa jadi sebuah kalimat etik praktis tidak memiliki arti apa-apa
ketika disampaikan dalam situasi atau tempat yang berbeda.
Perhatikan contoh ini, “The
white house is on fire” (Gedung Putih dilalap si Jago Merah). Kalimat ini
kemungkinan besar tidak memiliki efek apa-apa seandainya diberitakan melalui
media massa kepada rakyat London, apalagi Indonesia (Jika diberitakan di
Indonesia, kita barangkali bergumam: “Mati kau, Bush”). Sebaliknya, situasinya
akan jauh berbeda jika diberitakan di Amerika, atau setidak-tidaknya
disampaikan kepada Bush dan para pejabat lainnya, maka kalimat itu akan menjadi
warning kepada Bush bahwa Gedung Putih dalam kondisi gawat-darurat.Jadi,
emotive meaning yang diharapkan oleh penyampai berita bisa mengena
dengan sempurna.
Kritik yang tidak kalah
baiknya dilontarkan oleh Urmson, sebagaimana dikutip W.D. Hudson dalam Modern
Moral Philosophy. Urmson menilai terdapat inkosistensi dalam alur analisis
Stevenson. Misalnya A berkata, “Ini bagus”. Menurut Stevenson kalimat itu
bermakna, “Saya suka ini, maka anda seharusnya juga menyukainya”. Jika kemudian
B menjawab, “Ya, itu sangat bagus. Saya menyukainya”, menurut Stevenson A telah
sukses merubah sikap B. Benarkah demikian? Jawabnya: belum tentu, sebab ada
kemungkinan besar sejak awal B memang punya penilaian bahwa barang itu memang
bagus, hanya saja masih belum diartikulasikan dalam bentuk kata-kata. Artinya,
dalam kasus ini, A sama sekali tidak mempengaruhi atau merubah sikap B.
A mengungkapkan pertimbangan moralnya, dan B juga melakukan hal yang sama.
Tidak ada perubahan sikap dari keduanya.
Secara pribadi penulis
yakin bahwa pastinya ada tanggapan balik dari Stevenson atas kritikan-kritikan
yang diarahkan kepada pemikiran dirinya. Ini mengingat kritikan-kritikan itu
rata-rata dilontarkan pada paruh kedua tahun 1960 hingga 1970-an, di mana
Stevenson masih hidup. Stevenson meninggal pada tahun 1979. Sayang, karena
keterbatasan literatur dan kemampuan pribadi penulis, penulis tidak memperoleh
rujukan yang memuat jawaban-jawaban Stevenson atas berbagai ktitikan itu.
Seandainya ada, penulis yakin bahwa kajian atas gagasan Stevenson ini akan
lebih menarik, sekalipun tidak sempurna.
H.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
a. Emotive
theory pada dasarnya merupakan respons terhadap positivisme logik dan
intuisionisme. Teori itu mulai muncul sejak awal abad ke-20, dengan sejumlah
filosof yang turut berpartisipasi di dalamnya. Teori ini kemudian menampakkan
wajahnya yang lebih baik di saat Stevenson turut menyumbangkan gagasan-gagasan
briliannya.
b. “Baik”
memang merupakan sesuatu yang sulit didefinisikan, dan karenanya ia masih tetap
aktual untuk dipersoalkan. Stevenson sendiri tidak mengajukan definisi tentang
apa itu baik. Hanya saja, menurutnya, “baik” mesti memiliki tiga indikator: (1)
memungkinkan terjadinya perselisihan pandangan, (2) ada koneksi antara kebaikan
dan perbuatan, dan (3) tidak mesti bisa diverifikasi dengan menggunakan metode
ilmiah.
c. Bahasa
bisa diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu: (1) bahasa deskriptif, yang
memiliki literal meaning, dan (2) bahasa dinamis, yang memiliki emotive
meaning. Tetapi ada kalanya bahasa digunakan secara deskriptif dan dinamis.
d. Emotive
theory Stevenson menekankan bahwa pertimbangan etik atau kalimat etik
diungkapkan untuk mengarahkan atau merubah sikap orang lain yang menjadi obyek
dari ungkapan tersebut.
e.
Kritik yang diarahkan kepada emotive
theory Stevenson meliputi: (1)
teori tersebut dianggap tidak memberikan batasan yang pasti mana yang memiliki emotive meaning dan mana yang tidak, (2)
Stevenson disinyalir menggeneralisasikan masalah, sebab cenderung mengartikan attitude dengan feeling, padahal keduanya jelas berbeda, (3) ada kekacauan pada alur
pemikiran Stevenson, yaitu mengenai perbedaan meaning dan truth, (4) emotive theory tidak ubahnya adalah
perintah (command), (5) emotive meaning yang ada di dalam
kalimat etik seseorang kemungkinan besar tidak memiliki arti apa-apa jika
kalimat itu diungkapkan dalam situasi, kondisi dan domisi (sikondom) yang
berbeda, dan (6) emotive theory dinilai
tidak memberikan parameter yang jelas apakah seseorang berhasil kita arahkan
sikapnya, atau memang sejak awal memiliki sikap yang sama dengan kita.
2.
Saran-saran
Berdasarkan temuan-temuan
di atas, selanjutnya disarankan:
a. kepada
para pemerhati filsafat etika, khususnya mahasiswa pascasarjana IAIN Walisongo
semarang yang mengkaji Filsafat Etika, untuk terus menggali pemikiran Stevenson
tentang emotive theory, sebab apa yang disampaikan di sini
hanyalah sebagian kecil dari pemikiran Stevenson yang begitu luas,
b. perlu
adanya studi terhadap pemikiran emotivist-emotivist lainnya, sehingga diketahui
secara lebih utuh titik persamaan dan perbedaan pemikiran pada masing-masing
emotivist tersebut,